Sindikat Mafia Tanah di Yogyakarta Sasar Lansia Buta Huruf, Sertifikat Digadai Miliaran Rupiah
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berhasil mengungkap jaringan mafia tanah yang menipu seorang lansia buta huruf bernama Mbah Tupon (68), warga Bantul. Ironisnya, sindikat ini berhasil menggadaikan sertifikat tanah milik korban hingga mencapai miliaran rupiah. Tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan Mbah Tupon ini.
Para tersangka yang berhasil diamankan adalah BR (60) dan Tk (54), keduanya warga Kasihan, Bantul; VW (50), warga Pundong, Bantul; Ty (50), warga Sewon, Bantul; MA (47) dan IF (46), warga Kotagede, Kota Yogyakarta; serta AH (60), warga Kota Yogyakarta. Enam dari tujuh tersangka telah ditahan oleh penyidik Polda DIY, sementara AH masih dalam proses pemeriksaan karena alasan kesehatan.
"AH saat ini masih proses pemeriksaan. Jadi dari tujuh tersangka yang sudah kita tetapkan, enam orang sudah kita lakukan penahanan," ujar Dirreskrimum Polda DIY, Kombes Idham Mahdi, dalam konferensi pers di Mapolda DIY, Sleman, Jumat (20/6/2025).
Kombes Idham Mahdi menjelaskan peran masing-masing tersangka dalam sindikat ini. BR bertugas menerima Sertifikat Hak Milik (SHM) dan membujuk Mbah Tupon untuk menemui Tk. Selain itu, BR juga menerima transferan uang hasil kejahatan.
Tk berperan menerima transfer uang dan memaksa Mbah Tupon menandatangani Akta Jual Beli (AJB) fiktif. Selain itu, Tk menjadikan SHM 24452 sebagai jaminan pinjaman di koperasi atas nama Mbah Tupon. Bersama VW, Tk menggunakan akta palsu No. 145/2022 untuk menjual atau menggadaikan SHM 24452 dan menerima uang senilai Rp 18,7 juta. Tk juga menyerahkan SHM 24451 kepada Ty dan menerima uang sebesar Rp 137 juta.
VW sendiri berperan menggunakan akta palsu No. 145/2022 untuk menjual atau menggadaikan SHM 24452 kepada seseorang senilai Rp 150 juta, yang kemudian uangnya dibagi dengan Tk dan digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ty bertugas menerima SHM 24451 dari Tk dan mengurus semua proses pembuatan AJB fiktif ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) AR atas perintah MA. Ty menerima uang dari MA dan mentransfer uang tersebut ke Tk. Selain itu, Ty menerima SHM 24451 atas nama IF dari AR dan menyerahkannya ke notaris.
MA berperan membuat skenario jual beli fiktif. Ia juga menggunakan SHM hasil manipulasi untuk mengajukan kredit bank atas nama sendiri dan mendapatkan total kredit senilai Rp 2,5 miliar. Uang tersebut kemudian ditransfer ke Ty untuk proses AJB.
IF berperan menandatangani AJB fiktif dan menjadi pemilik nama di SHM 24451. Ia juga menjadi penjamin kredit di bank atas nama MA dan menerima uang di rekening pribadi.
AH, yang saat ini masih dalam proses pemeriksaan, berperan membuat AJB fiktif tanpa kehadiran dan kesepakatan jual beli dari para pihak. Ia memproses balik nama SHM 24451 menjadi atas nama IF dan menyerahkannya ke Ty. AH juga menerima sejumlah uang dari aksinya tersebut.
Modus operandi yang digunakan para tersangka adalah memanfaatkan kondisi Mbah Tupon yang buta huruf. Sertifikat tanah milik korban kemudian dialihkan haknya kepada nama-nama tersangka dan diagunkan di salah satu perbankan.
Kejadian ini terjadi pada rentang waktu antara tahun 2022 hingga 2024 di Kelurahan Ngentak, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Kasus ini dilaporkan ke Polda DIY pada 14 April 2025 dan tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/248/IV/2025/SPKT/POLDA D.I. YOGYAKARTA.
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penyidik menemukan adanya kaitan antara kejahatan awal yang dilakukan para tersangka dengan TPPU.
"Untuk delik pencucian uangnya setelah kita lakukan tahapan penyidikan, mengumpulkan, mencari barang bukti dan membuat lebih terang peristiwa pidana ini guna menentukan tersangkanya, penyidik berpendapat ada dugaan tindak pidana pencucian uang," kata Kombes Idham Mahdi.
Pasal yang diterapkan yakni Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang TPPU. Ancaman hukuman dari pasal tersebut maksimal 20 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp 10 miliar. Selain itu, para pelaku juga dijerat dengan Pasal 378 KUHP, Pasal 372 KUHP, Pasal 263 KUHP, dan Pasal 266 KUHP.
Barang bukti yang diamankan antara lain SHM No 24451/Bangunjiwo atas nama IF, SHM No 24452/Bangunjiwo atas nama Tupon Hadi, dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan perkara.
Kasus ini bermula pada tahun 2020, ketika Mbah Tupon memiliki lahan seluas 2.100 meter persegi dan hendak menjual sebagian tanahnya seluas 298 meter persegi. Tanah seluas 298 meter persegi itu dibeli oleh BR. Karena BR memiliki kekurangan pembayaran sebesar Rp 35 juta, ia menawarkan kepada Tupon untuk mengganti kekurangan tersebut dengan jasa memecah sertifikat tanah sisa milik Tupon seluas 1.655 meter persegi sesuai nama ketiga anaknya. Namun, setelah lama tidak ada kejelasan, pada bulan Maret 2024, kediaman Mbah Tupon didatangi oleh petugas bank yang menanyakan soal tanahnya. Ternyata, sertifikat yang seharusnya dipecah malah dibalik nama dan diagunkan ke bank senilai Rp 1,5 miliar. Sertifikat itu juga sudah berganti atas nama Indah Fatmawati. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polda DIY.