Peneliti Unair Ungkap Karakteristik dan Faktor Risiko Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual terhadap anak menjadi isu krusial di Indonesia dengan tren yang mengkhawatirkan. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan adanya 12.726 kasus sejak awal tahun 2025, meningkat signifikan sebesar 14,17% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini mendorong para ahli untuk lebih memahami profil pelaku dan faktor-faktor yang memicu tindakan keji tersebut.
Dr. Ike Herdiana, seorang psikolog dari Universitas Airlangga (Unair), menyoroti bahwa karakteristik pelaku kekerasan seksual dapat dikenali sejak dini. Beberapa indikator yang perlu diwaspadai antara lain:
- Penggunaan bahasa yang bernada seksual atau istilah-istilah dewasa yang tidak sesuai dengan usia.
- Kesulitan dalam mengelola emosi.
- Ketertarikan berlebihan, bahkan obsesi, untuk melihat atau menyentuh tubuh orang lain tanpa izin.
Kasus terbaru yang melibatkan pengelola panti asuhan di Surabaya yang diduga melakukan tindakan pencabulan terhadap anak-anak asuhnya selama tiga tahun terakhir, semakin menggarisbawahi urgensi penanganan masalah ini.
Dr. Ike menekankan pentingnya intervensi komprehensif, baik bagi pelaku maupun korban. Pelaku memerlukan asesmen psikologis dan psikiatris mendalam untuk memahami akar permasalahan dan potensi risiko yang ada. Psikoterapi juga menjadi bagian integral dari proses rehabilitasi, dengan tujuan untuk menumbuhkan empati, meningkatkan rasa tanggung jawab, serta melatih pengendalian diri terhadap dorongan dan emosi negatif.
Keluarga pelaku dan korban juga membutuhkan pendampingan psikologis untuk membantu mereka mengatasi trauma dan menciptakan lingkungan yang aman serta mendukung bagi tumbuh kembang anak. Orang tua dan orang dewasa di sekitar anak perlu meningkatkan kewaspadaan dengan:
- Mengenali tanda-tanda awal potensi pelecehan.
- Mengawasi interaksi anak dengan orang lain.
- Membatasi dan memantau akses anak terhadap teknologi, terutama konten-konten yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Lebih lanjut, Dr. Ike menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali memiliki faktor pendorong yang kuat, seperti pengalaman traumatis di masa lalu, khususnya riwayat kekerasan seksual yang pernah dialami sendiri. Kurangnya edukasi mengenai seksualitas dan lingkungan sosial yang tidak aman juga dapat berkontribusi terhadap munculnya perilaku menyimpang ini.
Kasus terbaru yang melibatkan anak berusia delapan tahun yang diduga menjadi pelaku, menunjukkan bahwa paparan terhadap konten pornografi menjadi perhatian serius. Kemudahan akses terhadap materi-materi semacam ini melalui teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan pendidik.
Dalam menghadapi situasi ini, Dr. Ike menyarankan agar orang tua tetap tenang dan memberikan edukasi kepada anak dengan bahasa yang mudah dipahami. Hindari sikap menghakimi atau memarahi anak secara berlebihan, karena hal ini dapat membuat anak takut dan cenderung berbohong di kemudian hari. Sebaliknya, ciptakan suasana terbuka dan penuh empati, dengarkan anak tanpa menginterupsi, dan berikan dukungan yang mereka butuhkan.
Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, langkah-langkah pencegahan dan intervensi yang tepat menjadi semakin mendesak untuk melindungi anak-anak dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.