KPK Bantah Penjual Pecel Lele Terjerat UU Tipikor: Penafsiran Hukum Harus Berbasis Ilmu, Bukan Opini
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan ahli hukum terkait potensi jeratan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap pedagang pecel lele. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa setiap pendapat hukum harus didasari argumentasi yang jelas dan rasional.
Menurut Tanak, jika Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dianggap problematik, penafsirannya harus berpegang pada koridor ilmu hukum. Ia menekankan bahwa penafsiran hukum tidak boleh didasarkan pada opini pribadi, melainkan pada teori-teori yang berlaku dalam ranah ilmu hukum. Tanak merujuk pada prinsip hukum notoire feiten, yang menyatakan bahwa fakta yang diketahui umum tidak perlu dibuktikan lagi. Ia berpendapat, secara logika, tidak mungkin seorang penjual pecel lele merugikan keuangan negara.
"Bila merujuk pada prinsip hukum tersebut, maka sudah dapat diketahui oleh umum bahwa tidak mungkin perbuatan penjual pecel lele di trotoar akan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara," sebutnya.
Tanak menjelaskan, untuk menjerat seseorang dengan Pasal 2 UU Tipikor, harus dipastikan bahwa perbuatan tersebut benar-benar mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam konteks ini, menurutnya, tidak mungkin seorang penjual pecel lele dapat dikategorikan sebagai pelaku korupsi.
Sebelumnya, ahli hukum Chandra M Hamzah menyampaikan kekhawatiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dapat menimbulkan masalah karena berpotensi disalahartikan dan menjerat pedagang kecil seperti penjual pecel lele. Hal ini diungkapkan Chandra dalam sidang pengujian materiil UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK).
Chandra menjelaskan bahwa rumusan pasal tersebut ambigu dan berpotensi melanggar asas lex certa dan lex stricta. Ia mencontohkan, penjual pecel lele bisa dijerat Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan berjualan di trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Menurutnya, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai korupsi karena memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara.
Menanggapi hal tersebut, Johanis Tanak dari KPK menegaskan kembali bahwa penafsiran hukum harus dilakukan secara cermat dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, bukan berdasarkan interpretasi yang sempit dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan.