Sengketa Rumah di Surabaya Memanas: Wakil Wali Kota Turun Tangan, Adu Argumen Warnai Mediasi

Konflik Kepemilikan Rumah di Surabaya: Mediasi Wakil Wali Kota Berujung Saling Tuding

Konflik kepemilikan rumah di Jalan Donokerto, Surabaya, memasuki babak baru. Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, melakukan inspeksi mendadak (sidak) pada Kamis (19/6/2025) guna menjembatani perbedaan pendapat antara pihak yang bersengketa. Namun, mediasi yang diharapkan membawa titik terang justru diwarnai aksi saling tuduh.

Kasus ini bermula dari laporan Viktor, yang mengklaim bahwa rumah orang tuanya telah ditempati oleh pihak lain selama puluhan tahun. Viktor berpegang pada Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) atas nama neneknya sebagai bukti kepemilikan yang sah.

"Dulu, ada suami istri bernama Gadri dan Romlah yang menyewa rumah dari ayah saya. Perjanjian sewa itu sah di mata hukum, disaksikan oleh lurah dan camat," jelas Viktor saat ditemui di Rumah Aspirasi Armuji, beberapa waktu lalu. Menurutnya, masalah timbul ketika generasi selanjutnya dari penyewa menolak untuk meninggalkan rumah tersebut, dengan alasan bahwa rumah itu adalah milik nenek mereka.

Viktor mengaku telah berupaya menyelesaikan masalah ini melalui berbagai jalur mediasi, termasuk DPRD Kota Surabaya dan kecamatan, namun tanpa hasil. Bahkan, ia telah membawa kasus ini ke pengadilan, di mana penghuni rumah dinyatakan bersalah karena tidak memiliki surat kepemilikan yang sah. Namun, putusan pengadilan tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena pihak yang bersangkutan tetap menolak untuk keluar dari rumah.

Mediasi yang Penuh Tensi

Dalam video yang diunggah di akun YouTube pribadinya, Armuji terlihat berusaha mempertemukan kedua belah pihak. Selain Viktor, hadir pula Sugeng, penghuni rumah yang menjadi objek sengketa, beserta kuasa hukumnya, serta perwakilan RT dan RW setempat.

Viktor kembali menegaskan bahwa semua surat kepemilikan rumah tersebut atas nama neneknya, dan ia selalu membayar pajak setiap tahunnya. Ia menuding Sugeng bukan merupakan keturunan dari penyewa awal, melainkan hanya mengaku-ngaku sebagai cucu.

"Dulu ada Gadri sama Romlah yang mengontrak rumah ke ayah saya, ada bukti sewanya, saksinya lurah dan camat, terdaftar semuanya. Terus mereka mengambil anak angkat namanya Semi, terus dia punya anak lagi namanya Suyono, tapi pak Sugeng ini ngaku-ngaku sebagai anak cucunya,” ungkap Viktor.

Sugeng, di sisi lain, membantah klaim Viktor. Ia mengaku tidak pernah mengenal Viktor maupun mendengar kabar orang tua Viktor mendatangi RT. Sugeng mengklaim bahwa ia adalah anak angkat dari Gadri, penyewa awal rumah tersebut.

"Sebelumnya itu Pak, enggak pernah ada yang namanya Viktor datang ke sini. Jadi awalnya pak Gadri ini punya saudara di Mojokerto, terus dia mengambil anak saudaranya untuk dijadikan anak angkat, nah saya itu anaknya Pak Gadri,” kata Sugeng.

Kuasa hukum Sugeng menambahkan bahwa kliennya telah menempati rumah tersebut sejak lahir. Ia juga menyinggung proses hukum sebelumnya, di mana Suyono Nur Abadi, yang diduga terkait dengan kasus ini, dibebaskan dari dakwaan penyerobotan lahan.

Pernyataan ini langsung dibantah oleh Viktor, yang menunjukkan bukti putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah dan dihukum 8 tahun penjara. Ketua RT setempat pun turut memberikan keterangan, yang justru memperkeruh suasana. Ia menyebut bahwa Sugeng telah menghuni rumah tersebut sejak tahun 1969, jauh sebelum tahun 2005 seperti yang tertulis dalam tuntutan.

Saling Tuduh dan Jalan Tengah

Dalam mediasi yang panas tersebut, Sugeng menuduh Viktor sebagai mafia tanah yang ingin mengusirnya. Sementara Viktor balik menuduh Sugeng karena tidak pernah membayar biaya sewa dan bersekongkol dengan pihak RT dan RW.

Menyadari bahwa perdebatan tidak akan membuahkan hasil, Armuji mengambil jalan tengah dengan menyarankan Viktor untuk mengajukan tuntutan ulang ke pengadilan.

"Wes ngene ae sampeyan ajukan ulang ke pengadilan. Kalau berdebat gini terus gak akan ada ujungnya," kata Armuji.

Ia menekankan bahwa apa pun hasil putusan pengadilan nantinya, harus diterima dengan lapang dada oleh kedua belah pihak. "Nanti kalau semisalnya sampeyan menang, kan akan diekseskusi sama juru sita. Nanti diproses hukum sampai sejauh mana, kalau memang ada denda dan lain sebagainya ya sampeyan juga harus menjalankan. Tapi kalau kalah ya harus pasrah,” tegasnya.