Mantan Presiden Filipina, Duterte, Ditangkap ICC atas Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan
Mantan Presiden Filipina, Duterte, Ditangkap ICC atas Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan
Penangkapan Rodrigo Duterte, mantan presiden Filipina, di Bandara Manila pada Selasa (11/3) atas surat perintah penangkapan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengejutkan dunia internasional. Duterte dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kampanye anti-narkoba yang brutal dan menewaskan ribuan orang selama masa jabatannya. Kampanye yang dijuluki “perang melawan narkoba” ini ditandai dengan penembakan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh polisi dan oknum tak dikenal, yang oleh Human Rights Watch (HRW) dikategorikan sebagai eksekusi di luar hukum ala “death squad”.
Penangkapan ini disambut positif oleh sejumlah organisasi hak asasi manusia, yang selama bertahun-tahun berjuang melawan impunitas atas pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintahan Duterte. Jasmin Lorch dari Institut Pembangunan dan Keberlanjutan Jerman (IDOS) menyebutnya sebagai kemenangan penting, mengingat popularitas Duterte yang tinggi baik selama maupun setelah masa jabatannya. Lorch menekankan bahwa penangkapan ini menjadi sinyal penting bagi penegakan hukum internasional dan perlindungan hak asasi manusia, terutama di tengah berbagai pelanggaran hukum internasional yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Kebijakan Keras dan Janji Kampanye
Popularitas Duterte didapat berkat citranya sebagai pemimpin yang tegas dan keras. Reputasi tersebut dibangun sejak ia menjabat sebagai walikota Davao City, di mana ia dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang kontroversial. Dalam kampanye kepresidenannya, Duterte dengan lantang menjanjikan pemberantasan narkoba dalam waktu enam bulan, bahkan dengan ancaman pembunuhan terhadap puluhan ribu penjahat. Pernyataan kontroversial seperti, “Lupakan undang-undang tentang hak asasi manusia. Jika saya berhasil mencapai istana kepresidenan, saya akan melakukan apa yang saya lakukan sebagai wali kota. Kalian para pengedar narkoba, perampok, dan orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa, lebih baik kalian keluar. Karena saya akan membunuh Anda,” menjadi bagian dari kampanyenya yang berhasil menarik dukungan sekitar 39% suara.
Implementasi Kebijakan dan Dampaknya
Segera setelah dilantik, Duterte langsung menjalankan janji-janjinya. Polisi menargetkan pengedar dan pecandu narkoba kelas teri, mengakibatkan ribuan kematian. Mayat-mayat korban ditemukan di berbagai lokasi, seringkali disertai tanda peringatan dari karton. Seorang petugas pemulasaran jenazah menggambarkan peningkatan drastis jumlah mayat yang ditemukan setelah Duterte menjabat. Perang melawan narkoba ini tidak membedakan target, menyasar kartel narkoba hingga pecandu narkoba, tanpa memberikan dukungan rehabilitasi yang memadai. Laporan HRW pada 2017 mengkritik keras pemberian kekebalan hukum kepada polisi, yang menyebabkan peningkatan kekerasan yang berlebihan. Studi yang dilakukan oleh peneliti Filipina Wenifredo Delmonte Alagabia Jr. dan Robino D. Cawi pada 2019 bahkan menunjukkan tidak adanya penurunan signifikan angka kejahatan setelah kampanye anti-narkoba tersebut dilaksanakan.
Penindasan terhadap Media dan Oposisi
Seiring dengan meningkatnya dokumentasi pembunuhan oleh media Filipina, pemerintahan Duterte mulai menindas pers. Situs berita Rappler dan pendirinya, Maria Ressa, menjadi sasaran utama kampanye kotor di media sosial dan upaya pencabutan lisensi. Meskipun demikian, Rappler dan Ressa tetap bertahan, dan Ressa bahkan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2021. Senator Leila de Lima, yang mencoba menyelidiki pembunuhan di luar hukum, juga menjadi korban penindasan, menghadapi tuduhan kriminal dan dipenjara selama beberapa tahun sebelum akhirnya dibebaskan.
ICC Membuka Investigasi dan Respon Duterte
Pada Februari 2018, ICC membuka penyelidikan awal atas pembunuhan di luar hukum di Filipina. Lorch menjelaskan bahwa keterlibatan ICC terjadi karena keengganan peradilan Filipina untuk melakukan investigasi yang memadai. Setelah ICC mengumumkan penyelidikan, Duterte menarik Filipina dari ICC pada Maret 2019. Meskipun demikian, Presiden Ferdinand Marcos Jr., penerus Duterte, menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan surat perintah penangkapan jika diterbitkan. Perbedaan perkiraan jumlah korban antara pemerintah Filipina (6.252) dan organisasi HAM (12.000-30.000) juga semakin memperkuat dugaan pelanggaran HAM yang sistematis.
Dinamika Politik dan Tantangan Hukum
Setelah lengser, Duterte tetap menantang ICC. Ia bahkan menantang ICC untuk segera memulai penyelidikan. Lorch menyoroti kemungkinan adanya motif politik di balik penangkapan Duterte, yang mungkin berkaitan dengan tekanan terhadap dinasti politiknya menjelang pemilu paruh waktu dan pemilihan presiden 2028. Sebuah petisi juga diajukan ke Mahkamah Agung Filipina untuk menghentikan kerja sama dengan ICC atas nama Duterte. Kasus ini menandai babak baru dalam perjuangan hukum internasional untuk akuntabilitas atas pelanggaran HAM berat dan menandai pentingnya kerja sama internasional dalam penegakan hukum dan keadilan.