Sidang Kasus Hasto Kristiyanto, Ahli Pidana Ungkap Ketidakperluan Ahli Bahasa dalam Perkara Obstruction of Justice
Dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, seorang ahli pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, memberikan keterangan yang meringankan terdakwa. Huda berpendapat bahwa dalam kasus perintangan penyidikan, kehadiran ahli bahasa dinilai tidak relevan, terutama dalam menginterpretasikan konteks sebuah percakapan.
Menurut Huda, keahlian seorang ahli bahasa terbatas pada analisis teks dalam bentuk pernyataan lisan, dan tidak mencakup kemampuan untuk menilai konteks yang melatarbelakangi pernyataan tersebut. "Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks," tegas Huda di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2025). Pernyataan ini disampaikan untuk menanggapi penggunaan ahli bahasa oleh Jaksa KPK dalam persidangan sebelumnya.
Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, mempertanyakan relevansi pendapat ahli bahasa yang dihadirkan oleh Jaksa KPK. Pertanyaan ini khususnya terkait interpretasi pesan singkat "oke sip" dalam komunikasi antara Hasto dan Saeful Bahri, mantan kader PDI-P yang mengakui menerima uang Rp 850 juta dari Harun Masiku.
Ronny Talapessy berargumen bahwa karena tidak ada saksi yang dihadirkan KPK yang menyatakan bahwa suap Harun Masiku bersumber dari Hasto, maka Jaksa menghadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan dalam telepon maupun pesan pendek. Ia pun mempertanyakan, “Apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat seseorang itu akan menjadi terpidana?”
Chairul Huda menjelaskan bahwa ahli bahasa hanya dapat menganalisis makna "oke sip" dari sisi tekstual. Sementara itu, penilaian mengenai keterkaitan teks tersebut dengan konteks yang lebih luas, seperti keadaan, pelaku, dan situasi percakapan, adalah wewenang ahli hukum.
Lebih lanjut, akademisi tersebut berpendapat bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi atau perintangan penyidikan, keterlibatan ahli bahasa tidak diperlukan karena mereka tidak dapat memberikan pandangan mengenai ada atau tidaknya tindak pidana. Ia mencontohkan bahwa pelibatan ahli bahasa lebih relevan dalam kasus ujaran kebencian (hate speech), di mana keahlian mereka dibutuhkan untuk membedah makna dari kalimat yang dipermasalahkan. "Pasal ujaran kebencian, hate speech baru perlu ahli bahasa. Kalau perintangan penyidikan enggak ada perlunya ahli bahasa," pungkas Chairul Huda.