Ahli Hukum Pertanyakan Logika Dakwaan Perintangan Hukum Terhadap Hasto Kristiyanto Dalam Tahap Penyelidikan

Jakarta - Dalam sidang yang menghadirkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai terdakwa kasus dugaan suap dan perintangan terkait kasus Harun Masiku, seorang ahli hukum pidana memberikan pandangan yang cukup signifikan. Chairul Huda, seorang ahli pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan bahwa sangat tidak masuk akal jika seseorang dituduh melakukan obstruction of justice atau perintangan hukum pada tahap penyelidikan sebuah perkara.

Menurut Chairul Huda, yang dihadirkan sebagai ahli yang meringankan atau a de charge dalam persidangan tersebut, sistem hukum di Indonesia memiliki batasan yang jelas mengenai apa yang dapat dianggap sebagai upaya perintangan hukum. Ia menjelaskan bahwa tahap penyelidikan, secara fundamental, belum termasuk dalam kategori pro justicia. Implikasinya, pada tahap ini, tidak ada upaya paksa yang dapat diterapkan oleh aparat penegak hukum.

"Tidak logis jika ada tindakan yang dianggap menghalang-halangi, padahal belum ada upaya paksa yang dapat dilakukan," tegas Chairul Huda di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, pada hari Jumat (20/6/2025). Pernyataan ini menyoroti inti dari argumentasi yang diajukannya, yaitu bahwa tanpa adanya kewenangan untuk melakukan tindakan paksa, sulit untuk membuktikan adanya perintangan yang nyata.

Lebih lanjut, Chairul Huda memberikan ilustrasi konkret mengenai proses penyelidikan. Ia menjelaskan bahwa dalam tahap ini, aparat penegak hukum biasanya melakukan permintaan klarifikasi dari berbagai pihak yang terkait dengan perkara yang sedang diselidiki. Namun, penting untuk dicatat bahwa pada tahap ini, aparat penegak hukum belum memiliki wewenang untuk melakukan tindakan seperti:

  • Penangkapan
  • Penggeledahan
  • Jemput paksa

"Jadi, jika ada yang berpendapat bahwa delik ini dapat diterapkan untuk menghalang-halangi penyelidikan, menurut saya, pemikiran tersebut tidak logis karena tidak ada upaya paksa yang diizinkan dalam penyelidikan," tambahnya. Pandangan ini menantang interpretasi yang lebih luas mengenai cakupan obstruction of justice dan menekankan pentingnya membedakan antara tahap penyelidikan dan penyidikan dalam proses hukum.

Dalam konteks perkara ini, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dua tuduhan utama. Dakwaan pertama adalah melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Dakwaan kedua adalah terlibat dalam suap dengan tujuan agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR RI melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) periode 2019-2024.

Dalam dakwaan pertama, Hasto Kristiyanto disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Sementara itu, dalam dakwaan kedua, ia didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP.