Dinamika Komunikasi Politik Dedi Mulyadi: Antara Kedekatan Rakyat dan Pengelolaan Opini
Dedi Mulyadi, atau yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM), telah menjelma menjadi figur publik yang kehadirannya memicu perdebatan menarik seputar komunikasi politik di era digital ini. Popularitasnya yang terus meningkat mengundang pertanyaan mendasar: sejauh mana gaya komunikasinya mencerminkan kedekatan yang tulus dengan rakyat, dan sejauh mana ia merupakan strategi terencana untuk memanfaatkan sentimen publik demi kepentingan politik?
Kajian mengenai komunikasi populis dan populisme komunikasi menjadi relevan dalam menganalisis fenomena KDM. Komunikasi populis, pada intinya, adalah pendekatan yang menekankan pada identifikasi dengan masyarakat biasa. Hal ini dilakukan melalui penyederhanaan isu-isu kompleks, penggunaan bahasa yang mudah dipahami, serta penekanan pada nilai-nilai dan aspirasi yang dianggap mewakili suara mayoritas. Pemimpin yang menggunakan gaya komunikasi populis berusaha menjembatani kesenjangan antara penguasa dan rakyat, menjadi representasi dari suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Karakteristik utama komunikasi populis meliputi:
- Penekanan pada emosi
- Penggunaan simbol-simbol yang kuat
- Narasi yang berfokus pada kedaulatan rakyat
- Penolakan terhadap establishment.
Gaya komunikasi KDM yang dekat dengan masyarakat, penggunaan bahasa Sunda, dan fokus pada isu-isu lokal adalah contoh bagaimana komunikasi populis dapat membangun resonansi yang kuat dengan pemilih. Namun, penting untuk mempertanyakan apakah strategi ini selalu otentik atau terkadang menjadi alat untuk menghindari kritik substansial terhadap kebijakan-kebijakannya.
Berbeda dengan komunikasi populis, populisme komunikasi cenderung ditandai dengan polarisasi yang disengaja, penyebaran informasi yang selektif (atau bahkan disinformasi), dan pengabaian nuansa demi mempertahankan daya tarik emosional dan loyalitas pengikut. Dalam konteks ini, media bukan lagi sekadar saluran informasi, melainkan medan pertempuran ideologi dan alat untuk mengkonstruksi realitas politik.
Tim komunikasi KDM sangat aktif di berbagai platform media sosial, menyebarkan narasi positif dan merespons (atau mengabaikan) kritik dengan cara yang strategis. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah media digunakan untuk menyebarkan informasi yang transparan dan akuntabel, ataukah lebih berorientasi pada pembentukan citra dan pengelolaan opini publik terkait kontroversi.
Aplikasi populisme komunikasi dalam kasus KDM terlihat jelas dalam pembingkaian isu-isu kontroversial melalui media. Tim komunikasinya seringkali merespons kritik dengan konten yang menarik secara emosional, seperti video interaksi dengan warga yang merasa "terbantu" oleh kebijakan yang dipersoalkan. Strategi ini berpotensi mengalihkan perhatian dari substansi kritik dan membangun narasi alternatif yang lebih menguntungkan.
Dalam menghadapi kontroversi, KDM seringkali menggunakan pendekatan komunikasi populis yang menekankan kedekatan dan identifikasi dengan masyarakat sebagai respons awal. Alih-alih memberikan penjelasan berbasis data yang komprehensif, ia cenderung memberikan gestur simbolik yang menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat yang dianggap terdampak.
Contohnya, ketika muncul polemik terkait relokasi pedagang kaki lima, respons KDM adalah berkunjung dan menggelar dialog emosional dengan para pedagang. Tindakan ini, meskipun menunjukkan empati, terkadang belum menjawab akar permasalahan, sehingga kontroversi berlarut-larut dan fokus dialihkan dari substansi kebijakan ke narasi personal dan emosional.
Penggunaan bahasa Sunda dan penekanan pada identitas budaya lokal juga menjadi elemen penting dalam komunikasi populis KDM, terutama ketika dihadapkan pada kontroversi yang dianggap berasal dari luar Jawa Barat atau tidak memahami konteks lokal. Ketika kritik dilayangkan terkait isu-isu pembangunan atau pelestarian lingkungan, KDM terkadang merespons dengan menekankan pada kearifan lokal dan nilai-nilai budaya Sunda yang ia klaim sebagai landasan kebijakannya. Meskipun penting untuk menghargai kearifan lokal, penggunaan retorika ini dalam merespons kritik juga berpotensi menjadi cara untuk menolak pandangan yang berbeda atau menghindari standar akuntabilitas yang lebih universal, sehingga kontroversi sulit diselesaikan secara objektif karena dibingkai dalam kerangka identitas dan sentimen kedaerahan.
Dalam kasus KDM, irisan antara komunikasi populis dan populisme komunikasi terlihat jelas dalam bagaimana kontroversi tidak hanya direspons secara reaktif, tetapi juga dikelola secara proaktif melalui media sosial. Respons seringkali terukur dan disesuaikan dengan platform media yang berbeda, dengan narasi di media sosial menekankan aspek emosional dan personal, sementara respons di media massa lebih formal namun tetap dalam kerangka retorika populis. Pengelolaan informasi yang cermat ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif kontroversi terhadap citra dan dukungan publik.
Dalam beberapa kontroversi, terlihat pola isu framing yang strategis. Isu yang berpotensi merugikan citra KDM seringkali dibingkai ulang atau dikaitkan dengan isu lain yang lebih positif atau netral. Misalnya, kritik terhadap kebijakan pembangunan tertentu direspons dengan menyoroti manfaatnya bagi masyarakat kecil atau kontribusinya terhadap pelestarian budaya. Selain framing, strategi silencing atau ignoring terhadap kritik tertentu juga kentara dalam beberapa kasus kontroversi KDM. Kritik yang dianggap tidak memiliki daya ungkit besar atau berasal dari kelompok yang kurang berpengaruh tidak direspons secara langsung, dengan tujuan menghindari amplifikasi kritik dan membiarkannya reda dengan sendirinya.
Implikasi dari perpaduan komunikasi populis dan populisme komunikasi dalam gaya komunikasi politik KDM sangat signifikan bagi kualitas demokrasi dan partisipasi publik. Di satu sisi, kemampuannya untuk terhubung dengan masyarakat luas dan membangun dukungan yang kuat adalah aset politik berharga. Namun, di sisi lain, strategi over-retorika-populis dan pengelolaan kontroversi melalui metode populisme komunikasi berpotensi mendistorsi diskursus publik yang rasional dan objektif. Masyarakat menjadi rentan terhadap polarisasi dan penyederhanaan isu, yang berpotensi menegasi keputusan politik yang akuntabel dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap komunikasi politik KDM mengharuskan kita untuk melihat melampaui pesona retorika dan citra personal. Kebijakan dan tindakannya perlu dievaluasi berdasarkan dampak konkret, bukan hanya narasi emosional yang dikonstruksi. Peran media dan masyarakat sipil sangat krusial dalam mengawasi dan mengkritisi praktik komunikasi politik, termasuk mengidentifikasi potensi penyalahgunaan retorika populis untuk menghindari akuntabilitas.