Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Nasional Mencuat: Menteri HAM Serukan Keyakinan Terhadap Independensi Penulis

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan, terus menuai polemik di tengah masyarakat. Di tengah gelombang kritik yang menerpa, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai justru menyatakan dukungannya terhadap inisiatif ini. Pigai menekankan bahwa proses penulisan ulang sejarah akan dilakukan oleh pihak-pihak independen, sehingga tidak ada alasan untuk meragukan hasil akhirnya.

"Jika ada independensi, mengapa kita harus ragu?" ujar Pigai saat berada di Desa Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (20/6/2026). Ia meyakini bahwa pemerintah maupun masyarakat tidak akan melakukan intervensi dalam penulisan tersebut, karena otoritas sepenuhnya berada di tangan para penulis sejarah. Menurut Pigai, penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk menyajikan narasi yang lebih positif dan komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Ia mengibaratkan penulisan sejarah seperti melihat seekor sapi mandi di sungai. Jika hanya melihat dari satu sisi, pemahaman akan terbatas. Oleh karena itu, sejarawan harus mampu melihat dari berbagai perspektif agar menghasilkan gambaran yang utuh.

Menanggapi perbedaan pendapat yang muncul di masyarakat, Pigai menyarankan agar semua pihak memberikan masukan dan saran yang konstruktif. Ia menekankan pentingnya melihat suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu sisi saja. Pigai juga mengungkapkan bahwa dirinya belum menerima draf penyusunan penulisan sejarah tersebut, bahkan Menteri Kebudayaan pun belum mengetahuinya karena hal ini merupakan ranah rahasia para sejarawan.

Kontroversi proyek ini semakin memanas dengan munculnya penolakan dari Aliansi Organ 98. Mereka menolak penghapusan sejarah bangsa dan mempermasalahkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dianggap mengingkari fakta sejarah terkait tragedi kerusuhan 1998. Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana juga mendesak Fadli Zon untuk mengklarifikasi pernyataannya dan menghentikan rencana penulisan ulang sejarah jika hanya bertujuan politis.

Bonnie Triyana menegaskan bahwa apa yang dianggap tidak ada oleh Menteri Kebudayaan, tidak berarti tidak pernah terjadi. Ia khawatir jika penulisan ulang sejarah hanya akan menyeleksi cerita perjalanan bangsa sesuai keinginan pemerintah. Bonnie Triyana mengingatkan agar proyek ini tidak menghilangkan adanya tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap kaum Tiongkok. Fadli Zon sendiri menanggapi perdebatan di media sosial dengan menyebutnya sebagai "pepesan kosong". Ia menyarankan publik untuk menunggu progres buku mencapai 70 persen sebelum melakukan diskusi.

Fadli Zon berencana untuk melakukan uji publik pada Juni atau Juli 2025, dengan melibatkan para sejarawan dan ahli yang sesuai dengan tema buku sejarah hasil penulisan ulang.