Kebijakan WFA ASN Dikhawatirkan Picu Penurunan Kinerja dan Sulitnya Koordinasi

Kebijakan WFA ASN Dikhawatirkan Picu Penurunan Kinerja dan Sulitnya Koordinasi

Kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai beragam tanggapan. Seorang ASN yang bertugas di sebuah kementerian, dengan nama samaran Enzy, mengungkapkan kekhawatiran terhadap implementasi kebijakan tersebut. Menurutnya, WFA berpotensi menimbulkan sejumlah masalah, terutama terkait koordinasi dan pengawasan kinerja.

Enzy, yang bertanggung jawab mengawasi pekerjaan dan laporan keuangan di divisinya, berpendapat bahwa WFA dapat menghambat proses kerja. Ia menjelaskan bahwa koordinasi yang cepat dan efektif sangat penting dalam menyelesaikan laporan keuangan tepat waktu. Dengan WFA, ia khawatir koordinasi akan menjadi lebih sulit, dan para pegawai cenderung menganggap WFA sebagai liburan.

"Kalau WFA mereka itu ya pikirannya libur," ujarnya, menggambarkan kekhawatiran terhadap perubahan pola pikir pegawai saat bekerja dari luar kantor.

Kesulitan koordinasi bukan satu-satunya kekhawatiran Enzy. Ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan sistem presensi. Saat masih Work From Office (WFO), menurutnya, sudah ada upaya untuk mengakali sistem presensi. Ia khawatir WFA akan memperburuk keadaan ini.

"Misalkan pas lagi ada audit agak susah untuk meminta data yang mereka kerjain. Pas WFO saja susah mintanya, apalagi WFA, ya makin susah saja," jelas Enzy, menggambarkan kesulitan yang mungkin timbul saat membutuhkan data dari pegawai yang bekerja dari jarak jauh.

Enzy menambahkan, fleksibilitas yang ditawarkan WFA juga dapat menjadi celah bagi ASN untuk melakukan kecurangan terkait kehadiran. Sistem presensi yang menggunakan aplikasi dengan fitur swafoto dan deteksi lokasi pun dinilai rentan dimanipulasi.

"Jadi kalau WFA, karena jobdesc aku kontrol anak buah, itu buat koordinasi jadi makin susah. Sedangkan yang WFO saja mereka pada mengakali (presensi), pada datang siang," ungkapnya.

Enzy mengungkapkan bahwa stafnya bahkan ada yang memanipulasi lokasi presensi menggunakan aplikasi pihak ketiga agar terdeteksi berada di dekat kantor padahal masih di rumah. Meskipun kecurangan tersebut pada akhirnya terdeteksi oleh tim internal, Enzy merasa bahwa hal ini tetap merugikan.

"Kan ada presensi radius gitu pakai ponsel. Yang kayak gitu saja suka diakalin sama staf kita yang pada bisa mengutak-atik aplikasi," jelasnya.

Enzy mengaku lebih menyukai sistem presensi tradisional menggunakan fingerprint karena dianggap lebih akurat dan sulit dimanipulasi. Ia khawatir kebijakan WFA akan berdampak negatif pada kinerja ASN secara keseluruhan.

Kebijakan WFA sendiri merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Nomor 4 Tahun 2025 tentang pelaksanaan tugas kedinasan pegawai ASN secara fleksibel. Pemerintah berdalih bahwa fleksibilitas kerja diperlukan untuk menjawab tuntutan kerja yang semakin dinamis dan menjaga motivasi serta produktivitas ASN.

Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan-RB, Nanik Murwati, menyatakan bahwa fleksibilitas kerja adalah solusi untuk kebutuhan kerja yang dinamis. Ia juga menekankan bahwa ASN tidak hanya dituntut bekerja profesional, tetapi juga harus menjaga motivasi dan produktivitas. Kebijakan ini memungkinkan ASN untuk bekerja dari mana saja, termasuk rumah, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik tugas.

Namun, kekhawatiran seperti yang diungkapkan Enzy menunjukkan bahwa implementasi WFA perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk mekanisme pengawasan, sistem presensi yang akuntabel, dan upaya menjaga koordinasi serta komunikasi yang efektif. Jika tidak, tujuan dari fleksibilitas kerja justru dapat kontraproduktif dan berdampak pada penurunan kinerja ASN.

Daftar Poin Kekhawatiran ASN:

  • Koordinasi yang lebih sulit
  • Potensi penyalahgunaan presensi
  • Penurunan kinerja
  • Kurangnya pengawasan