Gastronomi Lokal dan 'Mindful Eating' Jadi Kunci Tekan Risiko Jantung dan Hipertensi
Penyakit tidak menular (PTM) masih menjadi tantangan besar bagi sistem kesehatan di Indonesia, dengan beban biaya yang signifikan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Penyakit jantung menduduki peringkat teratas dalam pembiayaan, mencapai 70 persen dari total biaya PTM. Faktor risiko seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas yang tidak terkontrol menjadi pemicu utama masalah ini.
Menanggapi permasalahan tersebut, Indonesian Gastronomy Community (IGC) menawarkan solusi jangka panjang yang relevan dengan budaya Indonesia: pendekatan gastronomi berbasis pangan lokal dan praktik 'mindful eating'. Sekretaris Umum IGC, Ray Wagiu Basrowi, menekankan bahwa gastronomi lebih dari sekadar rasa dan tradisi. Ini mencakup aspek gizi, lingkungan, dan perilaku makan.
Konsep from farm to table, misalnya, tidak hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga terkait erat dengan isu perubahan iklim dan pola penyakit. Rantai pasokan makanan yang panjang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan potensi pemborosan. Oleh karena itu, pola makan berbasis nabati (plant-based) dapat menjadi strategi efektif untuk menekan kasus PTM.
Plant-Based Diet: Solusi Alami untuk PTM
Berbagai studi kesehatan masyarakat telah menunjukkan korelasi antara konsumsi protein hewani tinggi dan peningkatan risiko PTM. IGC berpendapat bahwa bukan hanya jenis makanan yang penting, tetapi juga pola konsumsi berlebihan tanpa aktivitas fisik yang memadai.
Dengan mengurangi konsumsi protein hewani dan menggantinya dengan sumber nabati, asupan serat meningkat secara signifikan. Serat ini berperan penting dalam mengikat lemak jahat sebelum masuk ke metabolisme hati dan dikeluarkan melalui feses. Proses ini terbukti efektif dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan hipertensi.
Studi epidemiologi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk penelitian terbaru di Universitas Gadjah Mada (UGM), menunjukkan bahwa pendekatan gastronomi lokal dengan sumber karbohidrat kaya serat selain nasi dapat berkontribusi pada penurunan risiko penyakit kronis.
IGC juga menekankan pentingnya konsep 'Isi Piringku' yang mempromosikan variasi warna dan jenis makanan. Mengonsumsi makanan dengan minimal tiga warna cerah dalam sekali makan tidak hanya meningkatkan nilai gizi, tetapi juga mendorong anak-anak dan orang dewasa untuk lebih menikmati makanan sehat. Pemanfaatan sumber karbohidrat non-nasi yang kaya serat yang ada di budaya lokal dapat dihidupkan kembali melalui pendekatan gastronomi yang menyenangkan.
'Mindful Eating': Lebih dari Sekadar Mengenyangkan Perut
Selain itu, IGC juga mempromosikan mindful eating, yaitu kebiasaan makan dengan kesadaran penuh. Makan seharusnya menjadi pengalaman yang dinikmati, bukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa lapar. Hal ini penting karena pola makan emosional (emotional eating) masih banyak ditemukan di masyarakat Indonesia. Survei 'Mindful Eating Study' Health Collaborative Center (HCC) menunjukkan bahwa 47 persen warga Indonesia memiliki kebiasaan makan emosional.
Kebiasaan mindful eating terbukti berdampak positif pada status kesehatan, keseimbangan fisik dan mental, serta penurunan risiko penyakit metabolik. Riset di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI menemukan bahwa guru yang makan dengan tenang saat istirahat memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelum makan.
Rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan
IGC mendorong Kementerian Kesehatan dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip gastronomi dalam kampanye gizi nasional, termasuk promosi 'Isi Piringku'. Hal ini mencakup tidak hanya jenis makanan, tetapi juga cara makan yang sehat dan menyenangkan.
Kampanye 'Isi Piringku' perlu dilengkapi dengan promosi mindful eating. Gastronomi dapat menjadi pendekatan budaya yang kuat untuk menurunkan prevalensi penyakit tidak menular.
Ketua IGC, Ria Musiawan, memberikan contoh sukses pengendalian stunting dengan pendekatan gastronomi lokal di Kalimantan Tengah. IGC bekerja sama dengan pemerintah daerah dan komunitas lokal untuk mengenalkan kembali pangan lokal yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Pangan lokal diolah menjadi berbagai menu baru yang variatif dan tidak membosankan, bahkan beberapa menu dapat dijadikan produk untuk dijual oleh masyarakat.
Program ini melibatkan pelatihan untuk guru dan kader-kader, tidak hanya soal pengolahan makanan sehat tetapi juga penguatan karakter melalui pangan lokal. Dalam waktu tiga bulan setelah kegiatan, tercatat ada penurunan angka stunting di wilayah tersebut, meski dilakukan dalam skala kecil dengan melibatkan sekitar 100 ibu-ibu kader.
Penggunaan bahan pangan lokal di sekitar masyarakat memungkinkan anak-anak mengonsumsi makanan bergizi yang juga akrab dengan selera mereka. Dengan pengolahan yang menarik dan edukasi yang tepat, makanan sehat bisa tampil lebih kekinian dan diterima oleh generasi muda.
IGC juga mendorong agar program makan bergizi gratis dari pemerintah dapat bersinergi dengan potensi pangan lokal di setiap daerah, serta melibatkan pelaku gastronomi sebagai bagian dari solusi gizi nasional.
Gastronomi dapat menjadi jembatan antara tradisi, gizi, dan masa depan anak-anak Indonesia.