Tragedi Biodiversitas: Orangutan dan Primata Lainnya di Ujung Jurang Kepunahan

Kabar duka datang dari dunia konservasi. Laporan terbaru bertajuk "Primates in Peril 2023-2025" mengungkap fakta mencengangkan: 25 spesies primata berada di ambang kepunahan. Jumlah individu beberapa spesies bahkan tak lebih dari ratusan, atau bahkan puluhan ekor saja. Tanpa tindakan nyata, mereka terancam lenyap dalam satu dekade.

Laporan yang disusun oleh IUCN SSC Primate Specialist Group, International Primatological Society, dan Re:wild ini, menggarisbawahi bahwa perubahan daftar spesies yang terancam bukan berarti kondisi spesies sebelumnya membaik. Ini lebih merupakan upaya untuk menyoroti spesies lain yang menghadapi ancaman serupa di Asia, Afrika, Madagaskar, dan Amerika Selatan. Ancaman kepunahan terus membayangi, dan hilangnya habitat, perburuan, perubahan iklim, serta perdagangan satwa liar ilegal menjadi penyebab utama penurunan populasi primata.

Jeritan dari Hutan Sumatra: Orangutan Tapanuli

Di jantung hutan Batang Toru, Sumatra, hidup orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Dengan populasi hanya sekitar 767 individu, mereka menjadi kera besar paling langka di dunia. Wilayah jelajah mereka terus menyusut akibat pertambangan dan pembangunan bendungan hidroelektrik. Para peneliti memperkirakan populasi ini menduduki kurang dari 2,5% dari jangkauan aslinya pada abad ke-19.

Nestapa Gorila Cross River

Situasi tak kalah memprihatinkan dialami gorila Cross River (Gorilla gorilla diehli) di Afrika Barat. Kurang dari 250 individu dewasa bertahan hidup di sebelas lokasi perbukitan di perbatasan Nigeria-Kamerun. Kerusuhan sipil, penebangan hutan, dan aktivitas pertanian semakin memperburuk kondisi mereka. Upaya konservasi telah dilakukan, namun hilangnya satu individu dewasa saja dapat menghancurkan kemajuan yang telah dicapai.

Lemur Tikus Madame Berthe: Kehilangan di Madagaskar

Madagaskar, pulau yang kaya akan keanekaragaman hayati, juga menyumbang spesies primata yang terancam punah: lemur tikus Madame Berthe (Microcebus berthae). Dengan berat hanya 30 gram, lemur ini kehilangan lebih dari 80% populasinya dalam sepuluh tahun terakhir akibat pertanian tebang-dan-bakar. Hilangnya habitat menyebabkan fragmentasi hutan kering tempat mereka hidup.

Peter Kappeler, kepala stasiun lapangan di Forêt de Kirindy, mengungkapkan kekhawatiran mendalam. Spesies ini menghilang dari sebagian besar hutan utuh yang tersisa, mengurangi kemungkinan konservasi. "Ini bisa menjadi primata pertama yang kita kehilangan selamanya di abad ke-21, karena tidak ada populasi penangkaran," ujarnya.

Ancaman yang Kembali Menghantui: Gibbon Cao-vit

Bahkan spesies yang pernah dianggap relatif aman, seperti gibbon Cao-vit (Nomascus nasutus), kembali menjadi sorotan. Survei terbaru menunjukkan jumlah individu mereka hanya sekitar 90 ekor, jauh lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya. Kesalahan perhitungan dalam survei awal menjadi penyebabnya.

Akar Permasalahan: Penghancuran Habitat dan Perburuan

Konversi hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur terus menghancurkan habitat primata di berbagai belahan dunia. Data satelit menunjukkan hutan dataran rendah di Sumatra, wilayah penting bagi orangutan, menyusut hingga 60% antara tahun 1985 dan 2007. Di Menabe, Madagaskar, tutupan hutan berkurang lebih dari 30% sejak 2012, memecah populasi lemur menjadi kelompok-kelompok terisolasi.

Perburuan dan perdagangan satwa liar memperparah situasi. Orangutan Tapanuli sering menjadi korban perburuan untuk perdagangan hewan peliharaan. Di Afrika Barat, kekerasan politik meningkatkan perburuan gorila untuk diambil dagingnya. Perubahan iklim juga menjadi ancaman serius. Musim kemarau yang lebih panjang dan badai yang lebih dahsyat merusak habitat primata.

Harapan di Tengah Krisis

Christian Roos, ahli genetika di German Primate Center, menyerukan tindakan cepat. "Situasinya dramatis. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan beberapa spesies ini selamanya," tegasnya. Namun, ia juga menyampaikan harapan, "Tetapi ada harapan – jika sains, politik, dan masyarakat bertindak bersama."

Laporan "Primates in Peril 2023-2025" menyerukan perluasan wilayah yang dilindungi, penegakan hukum yang lebih ketat, dan keterlibatan masyarakat adat serta komunitas lokal dalam upaya konservasi. Pendanaan jangka panjang diperlukan untuk patroli, restorasi ekologis, dan translokasi yang dikelola dengan hati-hati.

Roos menekankan bahwa hilangnya setiap spesies primata merupakan kerugian besar bagi alam dan manusia. Primata bukan hanya hewan yang menarik, tetapi juga spesies kunci dalam ekosistem.

Kisah sukses konservasi gibbon Cao-vit di Tiongkok dan Nigeria menunjukkan bahwa perubahan positif mungkin terjadi. Kerja sama antara Tiongkok dan Vietnam berhasil mengamankan cagar alam dan melibatkan masyarakat desa dalam patroli. Di Nigeria, kamera jebak menangkap gambar bayi gorila Cross River, membuktikan bahwa dengan perlindungan yang tepat, mereka dapat berkembang biak kembali.

Kisah-kisah sukses ini memiliki kesamaan: pengelolaan lokal yang kuat, implikasi hukum yang jelas, dan pendanaan yang berkelanjutan. Daftar spesies yang terancam punah ini bukan hanya daftar keputusasaan, tetapi juga rencana tindakan darurat. Edisi berikutnya akan mengungkapkan apakah komunitas global telah memilih untuk menyelamatkan primata, atau hanya mengenang mereka yang telah punah.