Dinamika Internal PSI Menjelang Pemilihan Ketua Umum: Antara Personalisasi Politik dan Solidaritas Kekuasaan

Sorotan Bursa Ketua Umum PSI 2025: Personalisasi Figur dan Tantangan Pelembagaan Partai

Menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dijadwalkan pada Juli 2025, sorotan publik kembali tertuju pada dinamika internal partai yang dikenal dengan pendekatan politik anak muda ini. Penunjukan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, sebagai Ketua Umum PSI pada September 2023 lalu, menjadi fenomena yang memicu perdebatan tentang arah dan identitas partai.

Keputusan yang terbilang instan ini menimbulkan berbagai tanggapan, termasuk kritik yang menyebut PSI sebagai "Partai Solidaritas Istana," sebuah sindiran yang menyoroti kedekatan partai dengan lingkaran kekuasaan. Lebih dari sekadar isu internal partai, peristiwa ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem kepartaian di Indonesia, khususnya terkait dengan personalisasi politik, kartelisasi partai, dan rapuhnya pelembagaan partai.

Personalisasi Politik: Ketika Figur Mengalahkan Ideologi

Penunjukan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI menggarisbawahi tren personalisasi politik yang semakin menguat di Indonesia. Alih-alih melalui proses kaderisasi yang sistematis, sosok yang populer karena latar belakang keluarganya langsung menduduki posisi puncak partai. PSI seolah mengandalkan daya tarik personal Kaesang, ketimbang rekam jejak politik atau platform ideologis yang jelas.

Fenomena ini sejalan dengan kecenderungan global, di mana partai politik cenderung berorientasi pada figur individu, bukan pada perjuangan kolektif atau ideologi tertentu. PSI sejak awal membangun citra yang bertumpu pada sosok muda dengan daya tarik media, mulai dari Grace Natalie hingga Giring Ganesha. Namun, strategi ini memiliki dua sisi mata pisau. Di satu sisi, tokoh populer dapat menarik perhatian publik. Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada pesona pribadi melemahkan pembangunan institusi partai yang kokoh.

Identitas partai menjadi sangat bergantung pada persona ketua umumnya. Gaya PSI di bawah kepemimpinan Giring sangat lekat dengan pendekatan komunikasi yang unik dan cenderung nyentrik. Sebaliknya, di era Kaesang, partai ini dengan cepat mengadopsi pendekatan yang lebih mirip "politik keluarga" yang selama ini melekat pada citra Jokowi.

Personalisasi politik juga membawa risiko menurunnya loyalitas pemilih dan kader terhadap partai. Banyak pendukung PSI yang memilih partai ini karena terpikat oleh sosok tertentu, bukan karena meyakini visi dan program partai secara mendalam. Ketika figur tersebut meninggalkan partai atau citranya meredup, dukungan publik dapat dengan mudah berpindah.

Kartelisasi Partai: Kolusi Elit dan Kepentingan Kekuasaan

Indikasi kartelisasi partai juga menjadi sorotan dalam dinamika PSI. Kartelisasi partai merupakan kecenderungan di mana partai-partai politik lebih sibuk berkolusi untuk berbagi kekuasaan dan sumber daya, ketimbang memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dalam kondisi ini, partai tak lagi menjalankan perannya sebagai perantara antara rakyat dan negara secara optimal.

Kasus PSI menjadi contoh bagaimana fenomena ini terjadi dalam skala kecil. Sepanjang eksistensinya, PSI sering kali lebih memilih mendekatkan diri ke lingkaran kekuasaan dibandingkan mengambil posisi sebagai oposisi yang kritis dan substansial. Kedekatan PSI dengan Jokowi, yang memunculkan label "Partai Solidaritas Istana,” mencerminkan hal ini.

Dengan merapat ke pusat kekuasaan, PSI berharap mendapatkan berbagai keuntungan, seperti posisi publik, akses pendanaan, dan fasilitas politik lain yang membantu kelangsungan hidup partai. Giring Ganesha, setelah mundur dari posisi ketua umum PSI, mendapatkan jabatan strategis sebagai Wakil Menteri Kebudayaan. PSI dengan mudah menyeberang kubu begitu konstelasi politik berubah, menunjukkan logika kartel politik: selama bisa dekat dengan kekuasaan, partai tidak segan-segan berpindah koalisi tanpa peduli konsistensi politik.

Dalam kondisi seperti ini, “solidaritas” yang menjadi jargon PSI seolah lebih tepat disebut solidaritas antar-elite ketimbang solidaritas untuk masyarakat luas. Ini merupakan gambaran lebih besar yang terjadi di politik Indonesia, di mana hampir semua partai lebih memilih bergabung dalam pemerintahan, meninggalkan peran sebagai oposisi yang kritis.

Rapuhnya Pelembagaan Partai: Akar yang Belum Kuat

Gejala terakhir yang sangat terasa dalam kasus PSI adalah lemahnya pelembagaan partai. Pelembagaan partai berarti sejauh mana partai politik tertanam kuat di masyarakat, punya identitas yang stabil, dan mampu bertahan dalam jangka panjang. PSI adalah contoh nyata partai dengan pelembagaan yang masih rapuh. Sebagai partai yang baru berdiri pada 2014 dan gagal masuk parlemen pada Pemilu 2019, PSI belum sempat membangun basis pendukung yang kuat dan stabil.

Dukungan yang mereka terima dari masyarakat sering kali bersifat sementara, mengikuti tren atau sosok populer tertentu. Tidak heran jika tingkat perolehan suara PSI mudah naik turun dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Di internal partai pun, PSI menunjukkan instabilitas yang tinggi. Dalam waktu kurang dari lima tahun saja, PSI sudah berganti pimpinan sebanyak tiga kali. Pergantian yang cepat ini menunjukkan lemahnya aturan organisasi dan ketergantungan partai pada tokoh tertentu.

Aturan-aturan internal partai juga tampak berubah sesuai kehendak elite partai. PSI juga menghadapi persoalan lemahnya jaringan pendukung yang solid di akar rumput. Mereka memang kuat di media sosial, tetapi di luar perkotaan, terutama di pedesaan, basis massa mereka sangat tipis. Loyalitas pendukung PSI cenderung mudah tergerus begitu ada isu atau figur politik baru yang lebih menarik.

Semua ini menunjukkan bahwa PSI masih jauh dari menjadi organisasi politik yang stabil dan matang. Sebaliknya, partai ini tampak lebih mirip kendaraan politik sementara yang mudah ditinggalkan begitu dianggap tidak lagi menguntungkan.

Drama internal PSI menjadi cermin bagi kondisi demokrasi saat ini. Personalisasi politik yang berlebihan menyebabkan partai kehilangan karakter dan tujuan utamanya. Kartelisasi partai membuat demokrasi kekurangan oposisi yang substantif. Lemahnya pelembagaan partai membuat sistem politik kita ibarat pasar bebas: partai politik datang dan pergi dengan mudah.

Jika dibiarkan terus-menerus, maka semua kecenderungan ini akan menggerus kualitas demokrasi kita secara perlahan. Idealnya, partai politik berfungsi sebagai pilar utama penyalur aspirasi rakyat. Namun, ketika partai hanya dijadikan mesin politik pribadi atau kelompok tertentu demi meraih kekuasaan, yang paling dirugikan adalah masyarakat luas. Dinamika PSI saat ini adalah peringatan keras bahwa sistem kepartaian kita sedang dalam kondisi yang memprihatinkan.