Skandal Bocornya Percakapan Telepon dengan Mantan PM Kamboja, Krisis Politik Menghantam PM Thailand
Gelombang kemarahan publik dan instabilitas politik melanda Thailand menyusul terungkapnya percakapan telepon antara Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Insiden ini memicu krisis dalam pemerintahan koalisi yang dipimpinnya.
Partai Bhumjaithai, salah satu mitra koalisi utama, secara resmi menarik dukungannya pada hari Rabu (18/6). Alasan utama penarikan diri ini adalah isi percakapan yang bocor, yang dinilai telah mencoreng citra dan martabat negara serta militer Thailand. Tindakan ini secara signifikan mengurangi mayoritas parlemen yang dimiliki oleh pemerintahan Paetongtarn, sehingga membuka peluang dilaksanakannya pemilihan umum dipercepat.
Menanggapi tekanan yang meningkat, PM Paetongtarn Shinawatra, yang juga merupakan putri dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dalam sebuah konferensi pers. Konferensi pers tersebut dihadiri oleh para pemimpin militer dan tokoh senior dari Partai Pheu Thai. "Saya ingin menyampaikan permohonan maaf atas bocornya rekaman percakapan saya dengan seorang pemimpin Kamboja, yang telah menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat," ujar Paetongtarn kepada awak media.
Dalam percakapan yang bocor tersebut, Paetongtarn terdengar membahas isu sensitif terkait sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dengan Hun Sen. Hun Sen, meskipun telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri Kamboja pada tahun 2023 setelah berkuasa selama empat dekade, masih memiliki pengaruh politik yang signifikan di Kamboja. Lebih lanjut, Paetongtarn menyebut Hun Sen dengan sapaan "paman" dan mengidentifikasi komandan tentara Thailand di wilayah timur laut sebagai lawannya, yang memicu kecaman keras di media sosial.
Kehilangan dukungan dari 69 anggota parlemen dari Partai Bhumjaithai menyebabkan posisi Paetongtarn semakin rentan. Spekulasi mengenai pemilihan umum dipercepat semakin menguat, hanya berselang dua tahun setelah pemilihan umum terakhir yang diselenggarakan pada bulan Mei 2023.
Dua partai koalisi lainnya, yaitu Partai Bangsa Thailand Bersatu dan Partai Demokrat, juga dijadwalkan untuk melakukan pertemuan guna membahas situasi politik yang berkembang. Paetongtarn berharap permintaan maafnya dan upaya menunjukkan persatuan dengan pihak militer dapat meyakinkan mereka untuk tetap mendukung pemerintahannya. Kehilangan dukungan dari salah satu dari kedua partai tersebut akan mengancam keberlangsungan pemerintahan Paetongtarn, yang dapat berujung pada pemilihan umum baru atau upaya pembentukan koalisi baru oleh partai-partai lain.
Pada hari Kamis (19/6), ratusan demonstran anti-pemerintah, termasuk beberapa veteran dari gerakan "Yellow Shirts" yang dikenal aktif pada akhir tahun 2000-an, menggelar aksi unjuk rasa di depan Government House. Para demonstran menuntut pengunduran diri Paetongtarn dari jabatannya sebagai perdana menteri.
Situasi politik di Thailand saat ini berada dalam titik kritis. Skandal percakapan telepon ini telah membuka kerentanan dalam pemerintahan koalisi dan memicu ketidakpastian politik yang signifikan.