Dekolonisasi Historiografi: Menggagas 'Sejarah Awal' sebagai Narasi Otonom Indonesia

Menelisik Konsep 'Sejarah Awal' dalam Konteks Dekolonisasi Historiografi Indonesia

Belakangan ini, sorotan tajam tertuju pada upaya penggantian istilah "prasejarah" menjadi "sejarah awal" dalam penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia. Kekhawatiran yang muncul berkisar pada potensi terganggunya kesinambungan metodologis dan terminologis yang telah mapan dalam historiografi Indonesia. Bahkan, ada akademisi yang memilih keluar dari tim penulis karena perbedaan pandangan terkait periodisasi ini.

Kritik pedas tersebut, meskipun perlu didengar, tampaknya kurang menangkap esensi dari gerakan dekolonisasi ilmu pengetahuan dan penguatan otonomi sejarah Indonesia. Dalam konteks ini, penggunaan istilah "sejarah awal" justru menjadi langkah krusial dan mendesak. Tujuan utamanya adalah menulis kembali Sejarah Nasional Indonesia dengan perspektif yang lebih inklusif dan berpihak pada narasi bangsa sendiri.

'Prasejarah': Warisan Historiografi Kolonial yang Perlu Dikritisi

Istilah "prasejarah," secara etimologis, mengacu pada masa sebelum sejarah, yang dalam tradisi Barat identik dengan periode sebelum ditemukannya tulisan. Namun, pandangan ini perlu dikaji ulang secara mendalam. Arkeolog Timothy Taylor mengajak kita untuk menelusuri akar historis, epistemologis, dan politis dari istilah "prasejarah." Menurutnya, istilah ini bukanlah konsep netral dan universal, melainkan konstruksi intelektual Eropa abad ke-19 yang sarat dengan asumsi mengenai kemajuan linear, marginalisasi budaya, dan pembedaan antara kelompok yang dianggap "bersejarah" dan mereka yang tidak.

Taylor menekankan bahwa konsep prasejarah lahir dari dominasi narasi Kristen dan upaya mencari masa lalu yang tidak tercantum dalam Alkitab. Konsep ini kemudian dilembagakan melalui pendekatan tipologis dalam arkeologi, seperti klasifikasi tiga zaman: batu, perunggu, dan besi.

Namun, batas antara prasejarah dan sejarah tidaklah kaku. Penemuan dan penguraian Linear B, yang awalnya dianggap sebagai peninggalan prasejarah, mengubah statusnya menjadi sumber sejarah. Perubahan ini menunjukkan bahwa peralihan dari prasejarah ke sejarah tidak hanya ditentukan oleh waktu, tetapi juga oleh dinamika epistemologis dan konstruksi politik dalam produksi pengetahuan.

Kajian Taylor menyoroti bagaimana istilah prasejarah sering digunakan untuk mengkonstruksi kelompok masyarakat tertentu dalam kerangka yang ahistoris dan primordial. Komunitas adat di Amerika, misalnya, mengalami proses prehistoricization, yaitu peminggiran secara historis dan politis melalui pelabelan sebagai budaya yang statis, tidak berkembang, dan berada di luar arus sejarah modern.

Taylor tidak menolak sepenuhnya istilah prasejarah, tetapi ia menyarankan agar istilah tersebut dipertahankan dengan tinjauan kritis, menggugat asumsi dasarnya, mendorong pendekatan interdisipliner, dan menghindari pembelahan kaku antara prasejarah dan sejarah. Ia menawarkan pandangan bahwa prasejarah sebaiknya dipahami bukan hanya sebagai periode sebelum tulisan, tetapi juga sebagai metode untuk menafsirkan masa lalu melalui materialitas.

Di Indonesia, istilah "prasejarah" diadopsi oleh Belanda dan dimasukkan dalam kerangka penulisan dan pengajaran sejarah kolonial. Penggunaan istilah ini dalam menarasikan Sejarah Nasional Indonesia merupakan warisan dari historiografi kolonial yang mengandung bias Barat dan kolonial.

'Sejarah Awal': Perspektif Otonom dan Dekolonisasi Historiografi

Istilah "sejarah awal" bukan sekadar pengganti kata, melainkan menandai perubahan mendasar dalam pendekatan historiografi nasional Indonesia. Konsep ini mencerminkan upaya membangun narasi sejarah yang berpijak pada perspektif lokal dan nasional, yang tidak terpaku pada dominasi sumber tertulis sebagai satu-satunya validasi historis.

Warisan budaya berupa tradisi lisan, artefak arkeologis, struktur megalitik, serta jejak permukiman kuno diposisikan sebagai sumber sah memori kolektif bangsa Indonesia. Dengan demikian, penggunaan istilah "sejarah awal" membuka ruang bagi rekognisi terhadap pengalaman historis masyarakat adat, komunitas marjinal, dan kelompok lokal dalam struktur sejarah nasional yang lebih inklusif dan otonom.

Otonomi sejarah merupakan syarat mutlak bagi bangsa yang ingin menentukan arah sejarahnya sendiri berdasarkan nilai-nilai dan kepentingan nasionalnya. Penggunaan istilah "sejarah awal" adalah bentuk kedaulatan epistemologis, bahwa bangsa Indonesia berhak mendefinisikan sendiri periodisasi dan kategori-kategori sejarahnya tanpa harus tunduk pada standar kolonial atau Euro-sentris.

Sejarawan seperti Van Leur dan John Smail telah mengkritik historiografi kolonial yang berfokus pada kegiatan politik elite Eropa. Mereka menekankan pentingnya melihat dinamika internal masyarakat Indonesia pra-kolonial melalui jalur perdagangan, jaringan dagang Asia, dan struktur sosial-ekonomi lokal. Smail bahkan mengajukan konsep autonomous history, mengajak sejarawan untuk tidak menjadikan kolonialisme sebagai titik berangkat dalam semua narasi sejarah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kritik terhadap istilah "sejarah awal" seringkali tidak memahami bahwa istilah "prasejarah" bukan hanya deskripsi teknis, melainkan sarat dengan ideologi kolonial. Mereka cenderung mempertahankan status quo historiografi yang bias literasi dan elitis. Padahal, setiap narasi sejarah memiliki konten, bentuk, dan implikasi ideologis.

Penggunaan istilah "sejarah awal" merupakan upaya menyusun narasi yang lebih etis, representatif, dan sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang beragam. Perdebatan antara "prasejarah" dan "sejarah awal" bukan sekadar persoalan kosakata, melainkan menyangkut arah dan ideologi penulisan sejarah nasional. Dalam semangat dekolonisasi dan penguatan otonomi sejarah Indonesia, istilah "sejarah awal" lebih mampu mengakomodasi kompleksitas masa lalu bangsa yang tidak seluruhnya terekam dalam tulisan. Oleh karena itu, istilah ini perlu dipertahankan dan diperkaya secara akademik.