Eks Hakim MK Tegaskan Hierarki Hukum: Undang-Undang Lebih Tinggi dari SOP Lembaga

Dalam persidangan yang mengupas dugaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 dan upaya menghalangi penyidikan kasus Harun Masiku, seorang mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pandangannya mengenai kedudukan Standar Operasional Prosedur (SOP) sebuah lembaga negara dalam hierarki hukum.

Maruarar Siahaan, mantan hakim MK tersebut, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai terdakwa. Fokus utama keterangan Maruarar adalah menegaskan bahwa SOP, sebagai aturan internal sebuah lembaga, tidak dapat mengungguli undang-undang, terutama dalam konteks hak-hak konstitusional seperti pendampingan hukum dan prosedur penggeledahan.

Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap pertanyaan kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, mengenai potensi konflik antara SOP lembaga dan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ronny menyoroti bahwa KUHAP menjamin hak seseorang untuk didampingi pengacara dan mensyaratkan surat penetapan pengadilan untuk penggeledahan. Pertanyaannya adalah, apakah SOP suatu lembaga dapat menggantikan atau meniadakan hak-hak yang diatur dalam KUHAP?

"Ya saya kira dari hierarki peraturan tentu tidak bisa," jawab Maruarar dengan tegas. Ia menjelaskan bahwa undang-undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada SOP. Maruarar menambahkan, jika masih ada keraguan mengenai validitas SOP, mekanisme judicial review atau pengujian yudisial dapat ditempuh untuk memperjelas kedudukannya di mata hukum.

Maruarar juga menekankan pentingnya mengikuti prosedur yang diatur dalam undang-undang, terutama dalam proses penggeledahan. Ia menjelaskan bahwa kepatuhan terhadap prosedur ini krusial untuk memastikan keabsahan alat bukti yang diperoleh.

"Hal-hal yang didukung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan apalagi dalam pengalaman saya kan bekas ketua pengadilan juga pak, kita juga melihat ada penggeledahan dan penyitaan barang-barang dari seorang katakanlah calon terdakwa tetapi tidak ada saksi yang melihat apa benar alat bukti diambil dari situ,” terang Maruarar.

Lebih lanjut, Maruarar menyatakan bahwa alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat diterima dalam proses peradilan. Analogi "buah dari pohon beracun" digunakan untuk menggambarkan barang bukti yang dirampas tanpa dasar hukum yang jelas, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam proses hukum.