Polemik Operasional Kapal Tunda di Muara Muntai: Legalitas Dipertanyakan, Kontribusi Nihil, Mediasi Buntu

Polemik Operasional Kapal Tunda di Muara Muntai: Legalitas Dipertanyakan, Kontribusi Nihil, Mediasi Buntu

Aktivitas operasional kapal tunda di perairan Sungai Muara Muntai, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menjadi sorotan tajam. Masyarakat setempat mempertanyakan legalitas operasional kapal-kapal tersebut dan menuntut adanya kontribusi nyata bagi pembangunan desa.

Kepala Desa Muara Muntai Ilir, Arifadian Nur, mengungkapkan kekecewaannya atas operasional kapal tunda yang selama dua tahun terakhir beroperasi tanpa memberikan kontribusi apapun kepada desa. Menurutnya, legalitas operasional kapal-kapal tersebut juga patut dipertanyakan. Hal ini diungkapkan setelah rapat mediasi yang diadakan di Kantor Bupati Kutai Kartanegara belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Arifadian, yang juga menjadi korban dugaan pemukulan oleh oknum ormas, menegaskan bahwa fokus utama permasalahan ini adalah legalitas kapal pandu tunda yang beroperasi di wilayah Kecamatan Muara Muntai dan aksi penolakan warga terhadap operasional tersebut.

Rapat mediasi tersebut dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk Inspektur Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kepala Dinas Perhubungan, perwakilan Sekretariat Daerah, Perusda PT. Tunggang Parangan, dan para kepala desa di wilayah Muara Muntai. Pertemuan ini membahas penolakan warga terkait operasional pandu tunda yang dianggap belum memenuhi persyaratan.

"Agenda utama mediasi ini adalah terkait pandu tunda yang ada di wilayah Kecamatan Muara Muntai, termasuk aksi penolakan warga terkait legalitas yang dipertanyakan," jelas Arifadian.

Menurutnya, secara kasat mata, legalitas kapal tunda yang beroperasi saat ini masih belum memenuhi syarat. Dari hasil pertemuan mediasi tersebut, disepakati akan diadakan rapat lanjutan yang mengundang PT Pelindo dan PT Herlin untuk membahas kelengkapan surat-surat legalitas operasional kedua perusahaan tersebut. Meskipun surat dari Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) sudah menunjukkan bahwa Pelindo telah mendapatkan pelimpahan kerja di Muara Muntai dan PT Herlin juga telah mendapatkannya, namun legalitas satu pihak lainnya masih belum jelas.

Arifadian menekankan bahwa dalam tahapan lanjutan, pihak-pihak pelaku usaha akan diundang untuk memastikan tidak ada diskriminasi, dan jika legalitas belum lengkap, kegiatan harus dihentikan.

"Intinya, kalau belum lengkap, dihentikan," tegasnya.

Selama ini, hanya ada satu kapal tunda yang beroperasi di wilayah tersebut. Meskipun telah beberapa kali diadakan pertemuan terkait kerja sama, pihak desa menolak karena legalitas yang dimiliki oleh operator kapal tunda dipertanyakan. Kapal tunda tersebut memungut tarif antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk sekali pandu, tergantung kondisi angin, namun tidak ada kontribusi langsung untuk desa.

"Kalau buat desa tidak ada, cuma buat rumah-rumah ibadah ada," ungkap Arifadian.

Ia juga membantah informasi yang beredar bahwa Desa Muara Muntai Ilir menarik PT Pelindo masuk ke wilayah tersebut. Sementara itu, Kuasa Hukum Kepala Desa Muara Muntai Ilir, Hela Ayu Ditasari, S.H, dan Laura Azani, S.H., C.C.L.E., menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan kekerasan fisik yang dialami klien mereka.

Mereka mengecam keras tindakan tersebut dan menilai bahwa dugaan penguasaan jalur pemanduan oleh kelompok non-pemerintah merupakan pelanggaran berat terhadap hukum. Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas peristiwa penganiayaan dan menindak tegas para pelaku, termasuk pihak yang membekingi. Selain itu, mereka menuntut Pemerintah Daerah, KSOP, dan Pelindo untuk segera mengambil langkah tegas menghentikan dominasi pihak-pihak yang tidak berwenang dalam kegiatan pemanduan kapal tongkang.