Menag Tegaskan Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan, Hukuman Mati Bukan Sekadar Pencabutan Nyawa
Menag Tegaskan Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan, Hukuman Mati Bukan Sekadar Pencabutan Nyawa
Dalam sebuah diskusi publik di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Rabu (12/3/2025), Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memberikan pernyataan tegas mengenai korupsi. Beliau tidak hanya menyebutnya sebagai kejahatan ekonomi semata, melainkan sebagai kejahatan kemanusiaan yang dampaknya jauh lebih luas dan merusak dibandingkan pencurian biasa. Menag Nasaruddin menekankan perlunya kampanye besar-besaran untuk menentang korupsi, melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga keagamaan.
"Penolakan terhadap korupsi harus digaungkan dari berbagai platform, termasuk rumah-rumah ibadah," ujar Menag Nasaruddin. "Kita perlu menggunakan bahasa agama, mendramatisasi dampak buruk korupsi agar pesan moralnya tersampaikan dengan efektif. Bayangkan, spanduk-spanduk di masjid, gereja, pura, dan vihara yang mengkampanyekan bahaya korupsi akan lebih berdampak dibandingkan sekadar imbauan biasa." Menag Nasaruddin bahkan mengusulkan penggunaan bahasa agama yang kuat untuk menggambarkan betapa dahsyatnya dampak korupsi bagi kehidupan bermasyarakat.
Perbedaan antara pencurian biasa dan korupsi, menurut Menag Nasaruddin, terletak pada skala dampaknya. Pencurian biasa, misalnya pencurian sepeda motor, hanya merugikan satu individu. Namun, korupsi, khususnya yang melibatkan dana pajak, merugikan jutaan bahkan ratusan juta orang. "Bayangkan, 280 juta penduduk Indonesia sebagai wajib pajak, uang mereka digunakan untuk kepentingan pribadi," tegasnya. Beliau melanjutkan dengan analogi tobat menurut Imam Ghazali, yang mensyaratkan pengembalian barang curian. Namun, dalam kasus korupsi yang berskala besar, pengembalian dana tersebut praktis mustahil dilakukan.
Lebih jauh, Menag Nasaruddin membahas perihal hukuman mati bagi koruptor. Beliau berpendapat bahwa hukuman mati bukanlah sekadar pencabutan nyawa secara fisik. "Hukuman mati juga bisa diartikan sebagai pencabutan martabat, kesempatan kerja, dan gairah hidup seorang koruptor," jelasnya. Dengan demikian, hukuman mati memiliki arti yang lebih luas, mencakup pemusnahan reputasi dan citra sang koruptor di masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera yang lebih dahsyat dibandingkan hukuman penjara belaka.
Dalam konteks ini, Menag Nasaruddin menggarisbawahi pentingnya pendekatan multi-sektoral dalam pemberantasan korupsi. Kerjasama antara pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menciptakan budaya anti-korupsi yang kuat dan berkelanjutan. Kampanye yang efektif harus mampu mengubah paradigma masyarakat mengenai korupsi, dari sekadar pelanggaran hukum menjadi kejahatan kemanusiaan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Menag Nasaruddin Umar menyampaikan pidato dalam acara 'Membangun Integritas Bangsa melalui Peran Serta Masyarakat Keagamaan' di Gedung ACLC KPK.
- Menag menekankan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan dan dampaknya yang lebih luas daripada pencurian biasa.
- Mengajak seluruh pihak, termasuk lembaga keagamaan, untuk mengkampanyekan anti korupsi.
- Menjelaskan perbedaan dampak korupsi dan pencurian biasa dengan analogi.
- Menjelaskan pandangannya mengenai hukuman mati bagi koruptor, bukan hanya pencabutan nyawa fisik, tetapi juga martabat dan kehidupan sosialnya.