Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Arkeolog Ungkap Dugaan Penyimpangan

Sorotan Terhadap Proses Penyusunan Buku Sejarah Nasional Indonesia

Profesor Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog terkemuka dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, telah menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait proses penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Keterlibatannya dalam tim penyusunan yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan, di bawah kepemimpinan Menteri Fadly Zon, awalnya didasari oleh semangat untuk memperbarui data prasejarah dan menghasilkan perspektif baru yang lebih komprehensif. Namun, serangkaian kejanggalan yang ia temukan membuatnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tim.

Dalam sebuah diskusi daring, Profesor Truman mengungkapkan setidaknya lima poin krusial yang menjadi dasar kekhawatirannya:

  • Jangka Waktu Penyelesaian yang Terlalu Singkat: Profesor Truman mempertanyakan target penyelesaian buku pada Juni 2025, mengingat rapat persiapan baru dimulai pada akhir November tahun sebelumnya dan rapat konsepsi pada awal Januari. Pengalaman panjangnya dalam penerbitan buku menunjukkan bahwa proses penulisan yang komprehensif biasanya memakan waktu hingga lima tahun, bahkan sepuluh tahun seperti yang dialami dalam penyusunan buku "Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS)".
  • Konsepsi yang Didikte oleh Penguasa: Ia mengkhawatirkan konsepsi penulisan buku yang disusun oleh editor umum di bawah arahan penguasa. Profesor Truman menekankan bahwa penyusunan buku, terutama yang berkaitan dengan sejarah kebangsaan, seharusnya didahului oleh seminar yang melibatkan para ahli untuk memperoleh masukan berharga dan memantapkan konsepsi secara independen. Ia menyayangkan ketiadaan seminar dalam tim, yang hanya mengadakan rapat terbatas dan merekrut beberapa pakar.
  • Penyodoran Outline yang Tidak Sesuai Prosedur: Profesor Truman mengungkapkan keheranannya atas penyodoran outline jilid prasejarah yang seharusnya disusun oleh para sejarawan. Ia menilai bahwa penyusunan outline oleh pihak yang tidak ahli di bidang tersebut berpotensi menghasilkan kemunduran dalam kualitas penulisan.
  • Kekeliruan Substansi dan Struktur: Ia menyoroti adanya kekeliruan dalam substansi, struktur, dan alur pikir pemaparan sejarah. Selain itu, ia menyoroti adanya pemaksaan perubahan terminologi "prasejarah" menjadi "sejarah awal", padahal istilah "prasejarah" telah digunakan secara internasional selama lebih dari 200 tahun dan tercantum dalam penerbitan buku sejarah nasional di Indonesia sejak tahun 1984.
  • Narasi Indonesia-sentris yang Glorifikatif dan Subjektif: Profesor Truman mengingatkan bahwa bidang keilmuan harus didasarkan pada objektivitas dan rasionalitas, bukan sekadar mengangkat hal-hal yang ingin memperlihatkan kehebatan Indonesia tanpa memperhatikan fakta sejarah. Ia menentang penggunaan istilah "Indonesia-sentris" yang menurutnya berpotensi mengabaikan objektivitas dalam penulisan sejarah.

Kementerian Kebudayaan memiliki tujuan untuk menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, dan menjawab tantangan globalisasi melalui penulisan ulang sejarah ini. Rencananya, buku ini akan terdiri dari 10 jilid utama yang mencakup berbagai periode sejarah Nusantara, mulai dari awal peradaban hingga era reformasi. Pemerintah melibatkan sekitar 113 sejarawan dari seluruh Nusantara dalam tim penulisan ulang sejarah nasional.

Profesor Singgih Tri Sulistiyono, editor umum penulisan ulang sejarah Indonesia, menjelaskan bahwa timnya memilih konsep "sejarah awal" alih-alih "prasejarah" karena menilai ada bias kolonialisme dalam penggunaan istilah "prasejarah". Ia berpendapat bahwa istilah "prasejarah" mengimplikasikan inferioritas masyarakat Indonesia di masa lalu sebelum berinteraksi dengan kebudayaan India. Padahal, menurutnya, teknologi masyarakat Indonesia sudah maju pada zaman tersebut. Ia juga menambahkan bahwa paradigma "sejarah awal" telah dirintis oleh sejarawan Jacob Cornelis van Leur.