Impian dan Realita: Kisah Para Pencari Kerja di Tengah Kerasnya Ibukota
Jakarta, kota metropolitan yang gemerlap, menyimpan cerita perjuangan tak kenal lelah dari ribuan pencari kerja. Di balik gedung-gedung pencakar langit dan hiruk pikuk jalanan, asa untuk mendapatkan pekerjaan достойное berkobar, meski terbentur berbagai tantangan.
Pada sebuah job fair yang diadakan di Gelanggang Remaja, Koja, Jakarta Utara, ratusan orang berbondong-bondong datang dengan harapan menemukan pintu gerbang menuju karir impian. Namun, realita tak selalu seindah harapan. Bagi sebagian orang, usia menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus.
Erik, seorang pria berusia 42 tahun, mengaku telah menganggur selama setahun. Ia mengungkapkan bahwa batasan usia yang ditetapkan oleh banyak perusahaan, yakni maksimal 35 tahun, menjadi kendala utama. "Sulit karena masalahnya dibatasi dengan usia," ujarnya dengan nada lirih. Ia menambahkan, pilihan pekerjaan yang tersisa baginya hanyalah menjadi pengemudi, kurir, atau petugas kebersihan.
Senada dengan Erik, Lela, seorang wanita berusia 40 tahun, juga merasakan getirnya diskriminasi usia. Setelah dua tahun mencari pekerjaan dan mengirimkan 250 lamaran, ia masih belum mendapatkan hasil yang memuaskan. "Susah banget, karena maksimal dari beberapa perusahaan mentok di usia 35 tahun, kalau enggak ada orang dalam susah juga," keluhnya.
Keletihan dan keputusasaan terkadang menghampiri Lela. Namun, ia memilih untuk tidak menyerah. "Capek, lelah banget, mau cari kerja susah, mau usaha juga enggak ada, mau gimana," ungkapnya. Pengalaman kerja yang dimilikinya menjadi alasan kuat baginya untuk terus mencari pekerjaan.
Meski hanya beberapa lamaran yang berlanjut ke tahap wawancara, Lela seringkali terbentur masalah lokasi penempatan yang jauh dari tempat tinggalnya di Tanjung Priok. Cibiran dari tetangga dan perlakuan diskriminatif dari HRD pun tak jarang ia terima. "Banyak sih HRD yang diskriminasi begitu, tetangga juga pada bilang 'udah lah, udah umur 40 tahun ngapain sih mencari pekerjaan lagi, udah jadi ibu rumah tangga aja'," tuturnya.
Selain diskriminasi usia, Lela juga seringkali ditawari gaji yang tidak sesuai dengan pengalamannya. "Sering dapat tawaran rendah, aku kan kerjanya di pelayaran dulu, berhubungan sama kontainer, ditawarin mau enggak kerja di sini, tapi gajinya cuma Rp 2 juta, Rp 3 juta," keluhnya. Ia menolak tawaran tersebut karena tidak sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR) Jakarta dan pengalaman yang dimilikinya sebagai seorang akuntan.
Di tengah kerasnya persaingan, masih ada semangat pantang menyerah seperti yang ditunjukkan oleh Ahmad, seorang pemuda berusia 28 tahun asal Serang, Banten. Ia rela menempuh perjalanan empat jam menggunakan kereta api untuk mencari pekerjaan di job fair Koja. "Tepatnya di Serang, sekitar empat jam jalan ke sini, naik kereta," ujarnya.
Setelah menganggur selama dua bulan usai mengundurkan diri sebagai debt collector dan mencoba profesi sebagai sales, Ahmad terus mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kisah Erik, Lela, dan Ahmad adalah representasi dari jutaan pencari kerja di Jakarta yang berjuang untuk meraih impian di tengah kerasnya realita ibukota. Semangat pantang menyerah dan harapan akan masa depan yang lebih baik menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi setiap tantangan.