Mengurai Benang Kusut Kemiskinan: Lebih dari Sekadar Angka, Butuh Terobosan Gagasan

Isu kemiskinan di Indonesia terus menjadi sorotan utama, baik dalam perdebatan publik maupun kajian akademis. Data terbaru dari Bank Dunia (2025) menunjukkan bahwa sekitar 68,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Angka ini kontras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 yang mencatat angka kemiskinan nasional sebesar 8,57%. Perbedaan signifikan ini dijelaskan oleh Bank Dunia bukan sebagai kesalahan metodologis, melainkan karena perbedaan pendekatan dan tujuan pengukuran. BPS fokus pada kebutuhan dasar minimal dalam mengukur kemiskinan nasional, sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan komparatif global.

Namun, perdebatan mengenai perbedaan angka ini sering kali mengaburkan isu yang lebih fundamental, yaitu pemahaman mendalam tentang kemiskinan dan efektivitas gagasan yang diterapkan dalam program pengentasan kemiskinan dalam mengatasi akar permasalahan struktural. Sejauh mana program-program yang ada saat ini benar-benar menyentuh akar permasalahan, atau hanya memberikan solusi sementara?.

Kritik Terhadap Pendekatan Konvensional

Tania Murray Li, dalam bukunya "The Will to Improve" (2007), mengkritik program pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang seringkali didasari oleh niat baik untuk memperbaiki kondisi masyarakat miskin. Namun, niat baik ini seringkali terbungkus dalam pendekatan teknokratis yang mengabaikan konteks sosial dan politik lokal. Li berpendapat bahwa negara dan lembaga pembangunan internasional cenderung memperlakukan masyarakat miskin sebagai objek intervensi, bukan sebagai subjek perubahan.

Contohnya adalah program Koperasi Merah Putih yang bertujuan memperkuat ekonomi kerakyatan. Meskipun koperasi secara ideal merupakan wadah pemberdayaan kolektif, implementasinya seringkali bersifat top-down, tanpa proses pembelajaran dan pengorganisasian yang memadai di tingkat akar rumput. Hal serupa juga terlihat pada program Makan Bergizi Gratis, yang meskipun penting dalam pemenuhan hak dasar anak, cenderung fokus pada distribusi makanan tanpa upaya sistemik untuk memperbaiki produksi pangan lokal, memperkuat ekonomi rumah tangga, atau melibatkan partisipasi aktif ibu-ibu dalam perencanaan gizi berbasis komunitas.

Penanggulangan stunting, yang menjadi prioritas nasional sejak 2018, juga menghadapi tantangan serupa. Berbagai intervensi telah diluncurkan, mulai dari pemberian makanan tambahan hingga edukasi perilaku hidup bersih dan sehat. Namun, program ini seringkali bersifat proyek-sentris, jangka pendek, dan belum terintegrasi secara efektif dengan infrastruktur layanan dasar di desa. Masyarakat juga lebih sering dilibatkan sebagai penerima bantuan daripada sebagai pelaku utama dalam penyusunan strategi lokal pencegahan stunting. Pembangunan berbasis proyek tanpa pengorganisasian sosial yang kuat dapat menghasilkan relasi kuasa yang timpang dan ketergantungan jangka panjang. Negara dan organisasi donor seringkali mendominasi dalam menetapkan indikator, alat ukur, dan solusi, tanpa sepenuhnya mendengarkan atau membangun kapasitas komunitas. Pendekatan ini, oleh Li (2007), disebut sebagai governmentality, yaitu cara negara mengelola populasi dengan logika pengaturan, bukan pembebasan. Program sosial dijalankan untuk membuat masyarakat "layak dibantu", alih-alih membangun kemandirian dan kesadaran kritis.

Kemiskinan Sebagai Relasi Sosial

Kemiskinan bukan sekadar kekurangan pendapatan, tetapi juga hasil dari relasi sosial yang tidak seimbang. Amartya Sen (1999) menekankan bahwa kemiskinan adalah bentuk keterampasan kapabilitas (capability deprivation), yaitu kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Oleh karena itu, ukuran kemiskinan tidak hanya berbasis pendapatan, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik.

Program pengentasan kemiskinan di Indonesia seringkali mengasumsikan bahwa masyarakat miskin tidak tahu, tidak mampu, dan perlu diarahkan. Padahal, masyarakat memiliki pengetahuan lokal dan pengalaman kolektif yang dapat menjadi dasar bagi solusi yang lebih relevan dan berkelanjutan. Alih-alih terus menciptakan program populis berbasis subsidi dan bantuan, pemerintah seharusnya mendorong pendekatan yang membebaskan dan memberdayakan. Paulo Freire (1970) menekankan pentingnya pendidikan dialogis yang membangun kesadaran kritis agar masyarakat dapat menjadi pelaku perubahan, bukan sekadar penerima manfaat.

Pengentasan kemiskinan membutuhkan strategi yang menumbuhkan kapasitas lokal, memperkuat organisasi rakyat, dan membuka ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat dilakukan melalui pengorganisasian komunitas (community organizing), pemetaan sosial partisipatif, dan penyusunan kebijakan berbasis data lokal yang valid dan dimiliki oleh masyarakat sendiri.

Perbedaan angka kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS hanyalah manifestasi dari persoalan yang lebih besar, yaitu krisis gagasan dalam pengentasan kemiskinan. Selama negara terus menggunakan pendekatan teknokratis dan sentralistik, upaya pengurangan kemiskinan hanya akan menyentuh permukaan. Diperlukan pendekatan transformatif yang berpijak pada keadilan sosial, pembebasan struktural, dan pengakuan terhadap agensi masyarakat miskin itu sendiri.