Eks Pejabat MA, Zarof Ricar, Divonis 16 Tahun Penjara: Hakim Pertimbangkan Faktor Usia dan Kemanusiaan
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan vonis 16 tahun penjara kepada Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA). Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut hukuman 20 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Zarof Ricar juga dikenakan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama enam bulan.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim, Rosihan Juhriah Rangkuti, menyatakan bahwa Zarof Ricar terbukti bersalah atas tindak pidana korupsi, yaitu pemufakatan jahat dalam percobaan suap terhadap hakim agung dan penerimaan gratifikasi dengan nilai yang fantastis, mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Zarof Ricar dinyatakan melanggar Pasal 6 Ayat (1) jo Pasal 15 dan Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terungkap bahwa Zarof Ricar, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, terlibat dalam permufakatan dengan seorang pengacara bernama Lisa Rachmat. Pengacara tersebut merupakan kuasa hukum dari Gregorius Ronald Tannur, pelaku kasus pembunuhan. Keduanya bersepakat untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
Lantas, mengapa majelis hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal 20 tahun penjara seperti yang dituntut oleh JPU? Ketua Majelis Hakim, Rosihan Juhriah Rangkuti, menjelaskan beberapa pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut. Salah satu pertimbangan utama adalah faktor kemanusiaan.
Berikut adalah beberapa alasan hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal:
- Usia Terdakwa: Hakim Rosihan mempertimbangkan usia Zarof Ricar yang saat persidangan telah mencapai 63 tahun. Jika dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, maka Zarof Ricar akan menjalani hukuman hingga usia 83 tahun. Mengingat usia harapan hidup rata-rata masyarakat Indonesia adalah 72 tahun, maka hukuman 20 tahun penjara berpotensi menjadi hukuman seumur hidup secara de facto.
- Kondisi Kesehatan: Majelis hakim juga mempertimbangkan kondisi kesehatan manusia pada usia lanjut yang cenderung menurun dan membutuhkan perawatan khusus. Aspek kemanusiaan dalam sistem hukum pidana tidak boleh diabaikan, meskipun kejahatan yang dilakukan tergolong serius.
- Keadaan Luar Biasa: Hakim berpendapat pidana maksimal hanya dilakukan dalam keadaan yang benar-benar luar biasa. Dalam kasus Zarof Ricar, tidak ada korban jiwa maupun kerugian fisik secara langsung pada orang lain. Tidak ada pula kekerasan dalam kejahatan ini. Potensi pemulihan kerugian negara melalui perampasan aset yang nilainya jauh melebihi kerugian juga menjadi pertimbangan.
- Perkara TPPU: Zarof Ricar juga berstatus tersangka dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang sedang dalam penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung). Hukuman Zarof Ricar berpotensi bertambah lagi karena perkara TPPU tersebut akan disidangkan secara terpisah. Hal ini menjadi pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan vonis maksimal pada perkara suap dan gratifikasi.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair enam bulan kurungan kepada Zarof Ricar.