Gaya Hidup Digital Picu Pengeluaran di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Kondisi ekonomi yang menantang, ditandai dengan terbatasnya lapangan pekerjaan, berbanding terbalik dengan pengeluaran masyarakat yang justru semakin meningkat. Fenomena ini memunculkan ironi di mana uang semakin sulit diperoleh, namun sangat mudah dibelanjakan.

Para ahli ekonomi menyoroti perubahan gaya hidup sebagai salah satu faktor utama yang memperburuk keadaan ini. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia semakin bergerak ke arah konsumtif, alih-alih produktif. Keterbatasan pendapatan, diperparah oleh pemutusan hubungan kerja (PHK), mendorong masyarakat untuk mengambil pinjaman online (pinjol) atau menggunakan fitur paylater demi memenuhi gaya hidup.

Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, memainkan peran signifikan dalam membentuk gaya hidup konsumtif ini. Kemudahan berbelanja online membuat barang-barang konsumtif semakin mudah diakses. Efek fear of missing out (FOMO) mendorong masyarakat untuk mengikuti tren, menciptakan kelas masyarakat yang konsumtif. Bhima menekankan bahwa generasi muda saat ini cenderung didorong untuk lebih konsumtif daripada produktif.

Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, menambahkan bahwa pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional, baik akibat faktor domestik maupun global, turut berkontribusi pada sulitnya mencari uang. Investasi yang lambat menyerap tenaga kerja, anggaran pemerintah yang belum optimal di kuartal pertama, dan ketidakpastian global membuat perusahaan menahan pembelian dan ekspansi investasi.

Di sisi lain, kemudahan bertransaksi melalui gadget memicu pola konsumtif masyarakat. Barang-barang yang sebelumnya dianggap tidak penting kini menjadi incaran karena pengaruh media sosial. Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras, juga mempercepat pengurasan dompet masyarakat.