Debat Pajak: Menkeu Sri Mulyani Tolak Mentah-Mentah Usulan Flat Tax dari Ekonom AS
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tegas menolak saran penerapan pajak tarif tunggal (flat tax) yang dilontarkan oleh ekonom senior asal Amerika Serikat, Arthur Laffer. Penolakan ini didasari kekhawatiran bahwa sistem tersebut justru akan membebani sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam forum CNBC Indonesia Economic Update 2025 yang diselenggarakan di Jakarta, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sistem pajak progresif yang saat ini berlaku di Indonesia sudah cukup mengakomodasi perbedaan kemampuan ekonomi masyarakat. Sistem ini memberlakukan lapisan tarif yang berbeda, mulai dari 5% hingga 35%, tergantung pada besaran penghasilan wajib pajak.
"Di Indonesia kita punya lima bracket of income tax. Saya tanya sama audience di sini, kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR, bayar pajaknya sama, setuju nggak?," ujar Sri Mulyani, mengilustrasikan ketidaksetujuannya terhadap sistem flat tax. Ia meyakini bahwa mayoritas masyarakat akan menolak sistem yang menyamaratakan beban pajak antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah.
Sri Mulyani mencontohkan perbedaan signifikan dalam tarif PPh, di mana penghasilan hingga Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif 5%, sementara penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif 35%. Menurutnya, perbedaan tarif ini mencerminkan prinsip keadilan dan redistribusi kekayaan.
"Pasti beda banget dengan yang di-advocate Pak Arthur Laffer karena kita yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar dengan yang pendapatannya Rp 60 juta rupiah per tahun, ya harusnya rate-nya beda, itu asas keadilan, distribusi," tegasnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan fiskal Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara lain, karena terikat oleh konstitusi dan memiliki fungsi yang lebih luas daripada sekadar efisiensi pasar. Ia menekankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu stabilisasi, distribusi, dan alokasi.
Menkeu memberikan contoh bagaimana fungsi stabilisasi berperan saat ekonomi mengalami penurunan. Ketika pendapatan perusahaan menurun, penerimaan pajak negara secara otomatis juga akan berkurang. Namun, belanja negara tetap harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, terutama untuk program perlindungan sosial dan pembangunan infrastruktur.
"Kalau income perusahaan kecil atau merugi dia nggak bayar pajak sehingga pasti penerimaan pajaknya turun, sementara belanjanya nggak perlu harus ikut turun, kita pertahankan untuk bantuan sosial, perbaikan kesejahteraan, untuk memperbaiki jalan raya yang rusak, bahkan banyak sekali kemarin kita bikin subsidi upah. Itu semua dilakukan dalam konteks fungsi stabilisasi yaitu countercyclical," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya, Arthur Laffer, yang dikenal sebagai pendukung kebijakan ekonomi supply-side, menyarankan penerapan flat tax dengan alasan untuk menghindari diskriminasi terhadap kelompok tertentu dan meningkatkan kinerja ekonomi secara keseluruhan. Ia berpendapat bahwa sistem flat tax dengan tarif rendah dan basis yang luas akan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Sehingga Anda tidak mendiskriminasi orang-orang yang sukses. Anda perlu memilikinya (sistem flat tax), itu sangat, sangat penting," kata Laffer.
Namun, Sri Mulyani berpendapat bahwa sistem pajak progresif yang saat ini diterapkan di Indonesia lebih adil dan sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Perdebatan mengenai sistem perpajakan ini menunjukkan perbedaan pandangan mengenai bagaimana cara terbaik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.