Negara Anggota OKI Bersatu: Indonesia Dorong Kecaman Internasional Atas Aksi Israel di Iran
Gelombang kecaman internasional terhadap tindakan Israel di Iran semakin menguat. Indonesia, sebagai salah satu anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mengambil inisiatif penting untuk menyatukan suara negara-negara anggota dalam mengutuk serangan tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Ruliansyah Soemirat, mengungkapkan bahwa usulan Indonesia telah mendapatkan dukungan luas dari 22 negara anggota OKI lainnya. Negara-negara tersebut antara lain Aljazair, Bahrain, Brunei Darussalam, Chad, Komoro, Djibouti, Mesir, Gambia, Irak, Yordania, Kuwait, Libya, Mauritania, Oman, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Turki, Uni Emirat Arab dan Iran. Kecaman bersama ini menandakan solidaritas yang kuat di antara negara-negara Islam dalam menghadapi situasi yang memprihatinkan ini.
Roy, sapaan akrab Ruliansyah, menjelaskan bahwa kecaman ini akan diformalkan menjadi sebuah dokumen resmi yang akan dipertimbangkan untuk diadopsi dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI yang akan diselenggarakan di Istanbul pada tanggal 21-22 Juni 2025 mendatang. Agenda KTM yang semula bersifat reguler, berpotensi mengalami perubahan atau penambahan agenda khusus (Extraordinary Session atau Extraordinary Agenda Item) untuk membahas secara mendalam situasi terkini di Iran.
Posisi Indonesia dalam konflik Iran-Israel sangat jelas: mengutuk keras agresi Israel, terutama serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Serangan semacam itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap traktat non-proliferasi senjata nuklir dan berpotensi mengancam keselamatan warga sipil, termasuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran, serta berpotensi memicu bencana kemanusiaan yang lebih luas.
Eskalasi konflik antara Iran dan Israel dalam beberapa waktu terakhir telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di tingkat global. Serangan Israel pada tanggal 13 Juni 2025 yang menargetkan kawasan perumahan dan fasilitas nuklir Iran memicu respons balasan dari Iran pada tanggal 14 Juni 2025 yang menyebabkan kerusakan pada infrastruktur ekonomi Israel. Situasi ini menuntut respons kolektif dari komunitas internasional untuk mencegah konflik lebih lanjut dan menjaga stabilitas di kawasan Timur Tengah.