Reformasi Tata Kelola Zakat Nasional Mendesak: Antara Korupsi dan Pembungkaman Suara Kritis
Reformasi Tata Kelola Zakat Nasional Mendesak: Antara Korupsi dan Pembungkaman Suara Kritis
Tantangan besar membayangi pengelolaan zakat di Indonesia, bukan hanya terkait praktik penyelewengan, tetapi juga sistem yang rentan disalahgunakan. Lebih dari satu dekade sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, urgensi reformasi regulasi semakin terasa.
Kasus yang terjadi di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat, di mana seorang auditor internal yang melaporkan dugaan penyelewengan dana justru dikriminalisasi, adalah contoh nyata permasalahan ini. Tindakan ini dikecam sebagai upaya membungkam suara kritis dan mencederai semangat antikorupsi.
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal. Beberapa tahun terakhir, muncul tren Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu upaya sistematis untuk membungkam suara kritis melalui jerat hukum. Aktivis, pelapor korupsi, dan akademisi sering menjadi korban dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penyebaran informasi palsu.
Perlindungan Hukum yang Lemah
Hak warga negara untuk menyatakan pendapat dan mengawasi pemerintahan dijamin oleh UUD 1945. Namun, perlindungan hukum bagi mereka yang bertindak demi kepentingan umum seringkali tidak ada. ICW mencatat bahwa banyak pelapor korupsi mengalami intimidasi, bahkan dijerat pidana atau perdata.
Regulasi anti-SLAPP di Indonesia masih terbatas. Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup menjadi satu-satunya yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap pejuang publik di sektor lingkungan. Sementara itu, perlindungan terhadap whistleblower belum diimplementasikan secara ideal, meskipun Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) menekankan pentingnya hal ini.
Konflik Kepentingan dan Sentralisasi Kekuasaan
Tata kelola zakat di Indonesia juga menghadapi persoalan konflik kepentingan struktural. UU No. 23 Tahun 2011 memberikan BAZNAS peran ganda sebagai regulator dan operator, yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan melemahkan pengawasan. Sentralisasi kekuasaan zakat di satu lembaga negara juga menyempitkan ruang kolaborasi dan kontrol sosial.
Indonesia Zakat Watch mengusulkan pembentukan Komisi Zakat Indonesia yang independen, yang hanya mengatur dan mengawasi, bukan mengelola dana secara langsung. Mahkamah Konstitusi juga pernah mengingatkan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola zakat.
Kasus Korupsi Dana Zakat
Sejak tahun 2011 hingga 2024, terjadi beberapa kasus korupsi dana zakat yang melibatkan berbagai pihak. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa reformasi tata kelola zakat melalui revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tidak bisa ditunda.
Langkah-Langkah Reformasi
Beberapa langkah reformasi yang perlu dilakukan antara lain:
- Pemisahan fungsi regulator dan operator dengan membentuk badan independen.
- Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan aturan anti-SLAPP.
- Penguatan audit internal dan eksternal serta transparansi keuangan.
- Perbaikan proses rekrutmen di BAZNAS dan LAZ.
- Peran aktif Kementerian Agama dalam pengawasan.
- Pelibatan organisasi zakat, pakar, masyarakat sipil, dan institusi antikorupsi.
Kepercayaan masyarakat terhadap institusi zakat adalah modal utama keberlangsungan gerakan filantropi Islam. Kasus TY di Jawa Barat harus menjadi momen introspeksi nasional. Indonesia memerlukan tata kelola zakat yang adil, transparan, dan partisipatif agar potensi zakat dapat dimaksimalkan.