Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia Diterpa Gelombang Penolakan

Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Penolakan dan Pertanyaan Metodologis

Inisiatif pemerintah untuk menyusun ulang sejarah nasional Indonesia menuai berbagai reaksi dari kalangan sejarawan dan akademisi. Gelombang penolakan muncul seiring dengan beredarnya draf awal penulisan sejarah tersebut.

Beberapa tokoh yang awalnya terlibat dalam tim penyusun memilih untuk mengundurkan diri, salah satunya Didi Kwartanada. Selain itu, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang, Wasino, juga menolak tawaran untuk menulis tentang era Joko Widodo dan proyek Ibu Kota Nusantara. Gani Ahmad Jaelani dari Universitas Padjadjaran juga menyatakan hal serupa.

Erwien Kusuma menyoroti adanya kelemahan metodologis dalam naskah tersebut, terutama dalam penulisan sejarah yang terlalu dekat dengan masa kini. Ia berpendapat bahwa penulisan sejarah yang ideal seharusnya memiliki jarak waktu minimal 25 tahun dari peristiwa yang ditulis.

"Kalau sampai era Jokowi, kan baru berapa tahun. Nah itu saja secara metodologi penggunaan sumber sejarahnya sudah keliru. 25 tahun itu kalau ditarik ya paling nggak tahun 2000 yang bisa kita tulis, jadi eranya Presiden Megawati (Soekarnoputri)-lah, Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid)-lah," ujarnya.

Wasino menambahkan bahwa penulisan sejarah yang terlalu kontemporer rentan terhadap subjektivitas. Ia menekankan pentingnya riset mendalam dan jarak waktu yang cukup dalam penyusunan sejarah nasional.

"Biasanya kalau menulis, apalagi buku secara nasional, kan harus berbasis riset," kata Wasino.

Selain itu, Harry Truman Simanjuntak, profesor riset dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengundurkan diri sebagai editor karena perbedaan pendapat mengenai perubahan istilah 'prasejarah' menjadi 'sejarah awal'. Ia berpendapat bahwa perubahan ini mengaburkan batas keilmuan antara sejarah dan arkeologi.

"Kalau kalian menggunakan istilah sejarah awal, untuk Indonesia sejarah awal itu ketika Nusantara mengenal tulisan, yaitu masuknya pengaruh Hindia, masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bukan prasejarah saya katakan. Nah itu, ngototnya di situ itu," ujar Harry.

Susanto Zuhdi, editor umum penulisan ulang sejarah nasional Indonesia, menanggapi isu pengunduran diri tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu adalah hal yang wajar dalam kerja akademik dan tidak selalu disebabkan oleh perbedaan prinsip.

"Kalau saya sih, saya nggak melihat itu prinsip. Itu mungkin dia-dia nggak sreg aja, kan biasa aja," kata Susanto.

Susanto juga menambahkan bahwa naskah sejarah yang disusun dapat digunakan sebagai rujukan utama dalam pendidikan dan menjadi bagian dari kurikulum sejarah di sekolah.

Di sisi lain, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai tragedi Mei 1998 juga menuai kritik. Fadli meragukan kebenaran peristiwa pemerkosaan dalam tragedi tersebut dan menyebutnya sebagai 'cerita tanpa bukti kuat'.

Pernyataan ini memicu respons dari Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, mendesak agar pejabat publik tidak meragukan keberadaan kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut, karena tindakan tersebut memperpanjang trauma korban.

"Pernyataan itu menyakitkan bagi para korban dan menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menindaklanjuti rekomendasi yang sudah dibuat sejak 1998," kata Chatarina.

Chatarina menegaskan bahwa laporan TGPF dan catatan Komnas Perempuan tidak selalu menyebutkan detail identitas korban untuk alasan perlindungan, tetapi hal itu tidak berarti peristiwanya tidak pernah terjadi.

Ia menambahkan bahwa mempertanyakan kembali kebenaran peristiwa yang telah diakui secara resmi dapat mengancam kredibilitas negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Upaya konfirmasi telah dilakukan kepada Fadli Zon dan Agus Mulyana, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, terkait proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia, namun belum ada jawaban yang diterima hingga saat ini.

Proyek penulisan ulang sejarah nasional ini terus menjadi sorotan dan memunculkan perdebatan di kalangan akademisi dan masyarakat luas.