Perbandingan Kebijakan Minyak Goreng Indonesia dan Malaysia: Antara Subsidi, Pengawasan, dan Harga

Perbandingan Kebijakan Minyak Goreng Indonesia dan Malaysia: Antara Subsidi, Pengawasan, dan Harga

Indonesia dan Malaysia, sebagai negara tetangga dengan ketergantungan tinggi pada komoditas minyak goreng, memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola harga dan ketersediaan bahan pokok ini. Di Indonesia, polemik seputar minyak goreng masih berlanjut, ditandai dengan maraknya pelanggaran terkait program MinyaKita. Program minyak goreng murah pemerintah ini, yang dijalankan melalui skema Domestic Market Obligation (DMO), ditemukan banyak penyimpangan. Kemasan MinyaKita yang seharusnya berisi 1 liter, banyak ditemukan hanya berisi 0,75 hingga 0,8 liter. Selain itu, harga jualnya pun kerap melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp 15.700 per liter. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait pengawasan dan efektivitas program DMO dalam menjamin akses masyarakat terhadap minyak goreng murah.

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia menerapkan strategi yang lebih preventif dalam menghadapi fluktuasi harga minyak goreng. Pemerintah Malaysia membanjiri pasar dengan minyak masak bersubsidi melalui program Cooking Oil Stabilization Scheme (COSS). Minyak masak subsidi ini dijual dengan harga RM 2,5 per kilogram, atau setara dengan Rp 9.200 (dengan kurs Rp 3.700). Penjualan dilakukan dalam satuan kilogram, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan satuan liter. Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak goreng non-subsidi di Malaysia. Pemerintah Malaysia juga menetapkan Harga Runcit Maksimum (HRM), setara dengan HET di Indonesia, untuk minyak goreng non-subsidi. Harga HRM untuk minyak goreng non-subsidi ditetapkan sebesar RM 6,9 atau sekitar Rp 25.630 per kilogram. Harga ini bervariasi tergantung kemasan, dengan harga yang lebih tinggi untuk kemasan yang lebih besar (2 kg: RM 13,3; 3 kg: RM 19,6; 5 kg: RM 30,9).

Perbedaan mencolok lainnya terletak pada pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah Malaysia menerapkan pengawasan yang sangat ketat terhadap peredaran minyak goreng. Penjual yang kedapatan menjual minyak goreng di atas HRM akan dikenai denda yang sangat berat, yakni Rp 371,58 juta untuk perorangan dan Rp 1,85 miliar untuk perusahaan. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah Malaysia untuk melindungi konsumen dari praktik curang dan memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau. Sementara itu, di Indonesia, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terkait program MinyaKita untuk mencegah terulangnya pelanggaran dan memastikan program tersebut mencapai tujuannya.

Kesimpulannya, kedua negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menangani permasalahan minyak goreng. Malaysia tampaknya lebih sukses dalam menjaga stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng melalui subsidi yang besar dan pengawasan yang ketat. Indonesia, di sisi lain, masih perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan program minyak goreng murahnya berjalan efektif dan mencegah kerugian konsumen.

Berikut perbedaan utama kebijakan minyak goreng Indonesia dan Malaysia:

  • Indonesia: Program MinyaKita dengan skema DMO, seringkali terjadi penyimpangan kuantitas dan harga.
  • Malaysia: Program COSS dengan subsidi besar dan pengawasan ketat, harga relatif stabil.
  • Pengawasan: Malaysia menerapkan sanksi berat terhadap pelanggar aturan harga, sementara di Indonesia perlu peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.
  • Kemasan: Minyak goreng subsidi di Malaysia dikemas sederhana (plastik), sementara non-subsidi dalam kemasan botol/kaleng.
  • Satuan: Indonesia menggunakan liter, Malaysia menggunakan kilogram.