Sekolah Swasta di Bekasi Utara Disegel Akibat Dugaan Penyelenggaraan Pendidikan Ilegal
Pemerintah Kota Bekasi melalui Dinas Pendidikan (Disdik) mengambil tindakan tegas dengan menyegel sebuah sekolah swasta yang berlokasi di Jalan Baru Perjuangan, Bekasi Utara. Penyegelan ini dilakukan pada hari Selasa, 18 Mei 2025, menyusul adanya indikasi pelanggaran serius terkait penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Bangunan sekolah yang didominasi warna cokelat dengan hiasan coretan warna-warni di beberapa bagian tembok kini tampak sepi. Arena bermain anak-anak yang biasanya ramai dengan keceriaan, kini tak berpenghuni. Kursi-kursi tunggu yang diperuntukkan bagi wali murid pun terlihat kosong. Penyegelan ini menghentikan sementara aktivitas sekolah dan melarang penerimaan siswa baru.
Langkah penyegelan ini diambil setelah pihak sekolah diduga tidak menyetorkan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Lebih lanjut, sekolah tersebut juga dinilai tidak memenuhi janji awal terkait penerapan kurikulum Cambridge yang menjadi daya tarik utama bagi para orang tua.
"Sekolah tersebut sebelumnya menjanjikan kurikulum berbasis Cambridge, namun kenyataannya tidak terealisasi," ungkap Sekretaris Disdik Kota Bekasi, Warsim Suryana.
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) ini juga membuka kelas inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, operasionalnya kini dihentikan sementara sampai investigasi lebih lanjut selesai.
Sebelumnya, kecurigaan dari sejumlah wali murid mulai muncul ketika kurikulum Cambridge yang dijanjikan tidak diterapkan sesuai dengan ekspektasi. Silvia Legina, salah seorang wali murid, mengungkapkan kekecewaannya. "Jadi Cambridge itu tidak kami dapatkan atau tidak sesuai dengan materinya," ujarnya.
Selain masalah kurikulum, wali murid juga mengeluhkan metode pembelajaran yang dinilai tidak standar. Mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan Agama tidak diajarkan sesuai dengan yang dijanjikan. Awalnya, siswa dijanjikan pembelajaran Bahasa Inggris intensif dengan pengantar langsung dari guru menggunakan Bahasa Inggris. Namun, dalam praktiknya, pengajar lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia.
"Lalu dari agamanya pun pelajarannya juga kurang, tidak ada hafalan (surat Al Quran)," tambah Silvia.
Kekecewaan Silvia semakin besar karena ia merasa telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, yakni Rp 23 juta untuk pendaftaran, yang mencakup biaya kegiatan sekolah dan uang bulanan selama tiga bulan pertama. Setelah itu, ia harus membayar Rp 2 juta per bulan untuk biaya pendidikan anaknya.
"Makanya dengan biaya yang menurut saya mahal itu kami kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan," keluhnya.
Benny Sugeng Waluyo, seorang wali murid yang anaknya mengikuti kelas inklusi, juga merasakan hal yang sama. Ia mengungkapkan bahwa salah satu alasan ia memilih sekolah tersebut adalah karena iming-iming adanya terapi psikologi dalam pembelajaran kelas inklusi. "Tapi selama anak kami sekolah di sini realisasi itu tidak ada," tuturnya.