Kenaikan Gaji Hakim di Tengah Badai Korupsi: Solusi atau Sekadar Tambal Sulam?
Di tengah maraknya kasus korupsi yang menjerat berbagai lembaga, termasuk peradilan, pemerintah mengumumkan kebijakan kontroversial: kenaikan gaji hakim hingga 280%. Langkah ini, yang diumumkan saat pengukuhan hakim Mahkamah Agung, diklaim sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan memperkuat integritas peradilan.
Namun, efektivitas kebijakan ini menuai perdebatan. Apakah kenaikan gaji benar-benar mampu memberantas korupsi di kalangan hakim, ataukah hanya menjadi solusi sementara tanpa menyentuh akar masalah yang lebih dalam? Kebijakan ini dapat dipandang sebagai langkah strategis untuk mengatasi faktor 'kebutuhan' dalam teori GONE (Greeds, Opportunities, Needs, Exposures) yang menjelaskan penyebab korupsi. Dengan meningkatkan gaji, diharapkan para hakim tidak lagi tergoda untuk melakukan korupsi karena alasan ekonomi.
Bukan Sekadar Gaji
Namun, realitasnya, banyak kasus korupsi yang justru didorong oleh keserakahan dan kesempatan, bukan semata-mata kebutuhan ekonomi. Contohnya, kasus suap yang melibatkan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, yang diduga menerima suap puluhan miliar rupiah. Ironisnya, kasus ini juga menyeret nama Djuyamto, seorang akademisi yang dikenal dengan pemikiran progresifnya tentang pemberantasan korupsi. Kasus ini menyoroti bahwa gelar akademik tidak menjamin integritas seseorang.
Kondisi ini mencerminkan krisis dualitas dalam birokrasi dan lembaga peradilan. Di satu sisi, ada upaya untuk menampilkan citra antikorupsi dan integritas. Namun, di sisi lain, praktik korupsi tetap marak dan tersembunyi, sehingga sulit terdeteksi.
Mafia Peradilan
Contoh lain yang mencengangkan adalah kasus korupsi mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang diduga menerima suap ratusan miliar rupiah dan puluhan kilogram logam mulia. Data dari ICW juga menunjukkan bahwa sejumlah hakim terlibat dalam kasus korupsi, dengan vonis yang seringkali ringan bagi para pelaku korupsi.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa para pengendali kekuasaan yang terlibat dalam korupsi besar tidak tersentuh hukum? Ini bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis sistemik, etika, dan moral dalam penegakan hukum.
Di tengah kondisi ini, kenaikan gaji hakim menjadi paradoks. Dari sudut pandang manajemen SDM, langkah ini mungkin dapat dibenarkan. Namun, jika korupsi tetap terjadi setelah gaji dinaikkan, maka perlu dipertanyakan akar masalahnya: apakah gaji, mentalitas, sistem rekrutmen, pengawasan, atau intervensi politik?
Reformasi Peradilan
Reformasi peradilan menjadi harga mati. Tidak cukup hanya dengan menaikkan gaji, tetapi juga perlu membenahi sistem secara menyeluruh, mulai dari seleksi hakim yang berintegritas, pendidikan hukum yang menjunjung etika, pengawasan internal yang ketat, hingga keteladanan moral dari para pemimpin lembaga yudikatif.
Dalam Asta Cita Presiden Prabowo, pemberantasan korupsi merupakan salah satu poin penting. Janji ini harus diimplementasikan secara konkret dalam pembenahan sektor peradilan.
Reformasi hukum tidak akan efektif jika hanya menyentuh aspek administratif atau menjadi kebijakan populis semata. Nilai-nilai integritas, transparansi, dan akuntabilitas moral para penegak hukum harus ditegakkan. Jika tidak, upaya pemberantasan korupsi di sektor lain akan sia-sia, karena hukum tidak akan efektif jika diterapkan oleh tangan-tangan yang kotor.
Jerome Frank pernah berkata, "Justice is what the judge had for breakfast." Jika hakim lapar akan kekuasaan dan kekayaan, maka hukum akan dijalankan berdasarkan nafsu duniawi, bukan keadilan. Lalu, siapa yang akan menghakimi hakim? Jika hakim menjual putusan, maka kepercayaan masyarakat terhadap peradilan akan runtuh.