Konflik Iran-Israel Ancam Industri Nasional: Menperin Dorong Efisiensi dan Diversifikasi Energi
Ancaman Kenaikan Biaya Produksi Akibat Perang Iran-Israel
Konflik yang berkecamuk antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran serius bagi industri nasional. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa perang ini berpotensi meningkatkan biaya produksi dan logistik secara signifikan, serta melemahkan permintaan ekspor. Menanggapi situasi ini, Menperin mendesak seluruh pelaku industri dalam negeri untuk segera mengambil langkah-langkah mitigasi risiko.
Salah satu fokus utama adalah ketergantungan industri pada energi impor. Jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri yang melewati Timur Tengah menjadi sangat rentan terhadap gangguan akibat konflik yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan energi dalam proses produksi menjadi kunci. Selain itu, diversifikasi sumber energi juga sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah.
Strategi Mitigasi: Energi Domestik dan Terbarukan
Menperin menekankan pentingnya mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan. Bioenergi, panas bumi, dan pemanfaatan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif menjadi solusi yang perlu dieksplorasi lebih lanjut. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi dampak fluktuasi harga energi global dan meningkatkan ketahanan industri nasional.
Dampak langsung dari konflik Iran-Israel terasa di pasar energi global. Timur Tengah, sebagai penghasil minyak utama yang menyumbang hampir 30 persen produksi global, membuat pasar menjadi sangat sensitif terhadap perkembangan konflik. Gangguan pada produksi energi Iran, yang mencapai 3,2 juta barel per hari, berpotensi memicu gangguan pasokan dan fluktuasi harga energi di pasar internasional. Harga minyak Brent telah mengalami fluktuasi antara 73 hingga 92 dollar AS per barel sejak perang Iran-Israel meletus.
Kerentanan Indonesia dan Dilema Harga BBM
Volatilitas harga energi dunia semakin meningkat dengan ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur pasokan energi global yang vital. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, serta gangguan rantai pasok bahan baku.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia menjadi ancaman nyata mengingat status Indonesia sebagai negara importir minyak mentah. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi memperkirakan bahwa jika konflik semakin memanas, harga minyak dunia dapat melambung tinggi. Bahkan, JP Morgan memproyeksikan kenaikan harga minyak dunia bisa mencapai 130 dollar AS per barel jika eskalasi perang meluas hingga Iran menutup Selat Hormuz.
Pemerintah akan menghadapi dilema dalam menetapkan harga BBM di dalam negeri. Jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan membengkak. Namun, jika harga BBM subsidi dinaikkan, hal ini dapat memicu inflasi dan mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya beli masyarakat serta menekan pertumbuhan ekonomi.
Langkah Antisipatif yang Disarankan
Berikut adalah langkah-langkah antisipatif yang disarankan:
- Efisiensi Energi: Mengoptimalkan penggunaan energi dalam proses produksi untuk mengurangi konsumsi.
- Diversifikasi Sumber Energi: Beralih ke sumber energi alternatif dan terbarukan seperti bioenergi dan panas bumi.
- Penggunaan Energi Domestik: Memprioritaskan penggunaan sumber energi yang tersedia di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
- Mitigasi Risiko Logistik: Mencari alternatif jalur logistik untuk menghindari gangguan pasokan akibat konflik.
- Stabilisasi Harga: Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang tepat untuk menstabilkan harga BBM tanpa membebani APBN atau masyarakat.