Pendampingan Korban Pencabulan Santri di Sumenep Terbatas, Pemerintah Daerah Koordinasi dengan Kepolisian

Kasus dugaan pencabulan yang melibatkan seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) berinisial S di Desa Angkatan, Sumenep, Jawa Timur, memasuki babak baru. Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) mengakui bahwa pendampingan yang diberikan kepada para korban masih terbatas.

Hingga saat ini, baru tiga orang santri yang menjadi korban yang telah mendapatkan pendampingan intensif dari Dinsos P3A. Fakta ini terungkap di tengah pengakuan pelaku kepada pihak kepolisian bahwa jumlah korban mencapai sekitar sepuluh orang, yang mayoritas masih di bawah umur. Ketidaksesuaian antara jumlah korban yang terungkap dan yang mendapatkan pendampingan memunculkan pertanyaan terkait efektivitas penanganan kasus ini.

Kepala Dinsos P3A Sumenep, Mustangin, menjelaskan bahwa ketiga korban tersebut telah dibawa ke rumah aman dan menjalani asesmen oleh Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Anak (UPT PA) Dinsos Sumenep. Ia menegaskan bahwa pendampingan lebih lanjut akan dilakukan berdasarkan koordinasi dengan Polres Sumenep. Pihaknya berdalih belum bisa mengambil inisiatif pendampingan tanpa arahan dari kepolisian, untuk menghindari langkah-langkah yang kontraproduktif.

"Mungkin korban lainnya belum dikirim ke kami. Masih dimintai keterangan di sana. Keterangan itu kan dari Polres, Mas," ujar Mustangin, menunjuk pada peran kepolisian dalam mengidentifikasi dan menyerahkan korban untuk pendampingan.

Sementara itu, kuasa hukum para korban, Salamet Riadi, mengungkapkan bahwa berdasarkan verifikasi penyidik Polres Sumenep, terdapat sembilan orang korban yang telah diperiksa. Satu orang lainnya masih dalam proses pengambilan keterangan.

  • Sembilan orang sudah diperiksa.
  • Satu orang lagi direncanakan akan segera diperiksa.

Salamet Riadi juga mengkonfirmasi bahwa tidak semua korban mendapatkan asesmen. Keputusan terkait korban mana yang perlu diasesmen sepenuhnya berada di tangan penyidik kepolisian.

"Waktu itu penyidik (Polres) yang memutuskan bahwa korban-korban inilah yang perlu dilanjutkan untuk diasesmen. Sementara korban lainnya belum," jelasnya.

Keterbatasan pendampingan yang diberikan oleh pemerintah daerah, dengan alasan koordinasi dengan kepolisian, menimbulkan kekhawatiran akan nasib para korban yang belum mendapatkan perhatian. Koordinasi antara Dinsos P3A dan Polres Sumenep menjadi kunci dalam penanganan kasus ini. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan semua korban mendapatkan pendampingan yang memadai, termasuk asesmen psikologis dan bantuan hukum, agar mereka dapat pulih dari trauma yang dialami.