Tom Lembong Pertanyakan Kesetaraan Hukum dalam Sidang Korupsi Impor Gula
Lembong Kecewa atas Pembacaan Kesaksian Tertulis Rini Soemarno
Jakarta - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong, menyampaikan kekecewaannya atas keputusan majelis hakim yang mengizinkan pembacaan kesaksian tertulis mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno. Lembong menilai bahwa keputusan ini mengindikasikan ketidaksetaraan dalam proses peradilan.
Usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Lembong menyatakan bahwa tim pembela tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan tersebut, meski ia menganggapnya sebagai preseden yang kurang lazim. Ia menekankan pentingnya perlakuan yang setara bagi kedua belah pihak, baik penuntut umum maupun terdakwa.
"Kami hanya meminta perlakuan yang sama. Jika penuntut diperbolehkan menghadirkan kesaksian tertulis, kami juga harus diberi hak serupa," ujarnya kepada awak media.
Lembong menyoroti alasan ketidakhadiran Rini Soemarno, yang disebut karena acara keluarga di Jawa Tengah pada hari kerja. Ia mempertanyakan apakah alasan ini dapat diterima sebagai pembenaran untuk tidak hadir langsung di persidangan.
"Jika saksi dari pihak kami berhalangan hadir karena urusan pribadi, seharusnya kesaksian tertulis juga dapat diterima dan dibacakan di ruang sidang tanpa kehadiran fisik," imbuhnya.
Lembong Menuntut Kesetaraan Prosedur Hukum
Lebih lanjut, Lembong menegaskan bahwa jika jaksa penuntut umum (JPU) diperbolehkan membacakan kesaksian tertulis tanpa batasan, maka pihak terdakwa juga harus memiliki hak yang sama. Ia menekankan bahwa asas kesetaraan di mata hukum harus ditegakkan dalam proses peradilan.
"Jika saksi kami berhalangan hadir karena ada acara keluarga, kami juga seharusnya diperbolehkan menghadirkan kesaksian tertulis secara sepihak, tanpa penuntut dapat melakukan pemeriksaan silang," tegasnya.
Lembong juga menyoroti bahwa Rini Soemarno telah empat kali mangkir dari panggilan persidangan terkait kasus yang menjeratnya. Ia mengingatkan bahwa asas universal dalam peradilan adalah kesetaraan antara penuntut dan terdakwa.
"Kami menghormati keputusan Majelis Hakim, tetapi asas universal peradilan di seluruh dunia adalah bahwa penuntut dan terdakwa itu setara di mata hukum, dan wajib diberikan perlakuan yang sama," kata Lembong.
Dalam kasus ini, Tom Lembong didakwa terlibat dalam dugaan korupsi kebijakan impor gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015-2016. Kasus ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.