Investasi Mineral Kritis Melambat di Tengah Ketidakpastian Pasar Global
Investasi Mineral Kritis Terhambat Ketidakpastian Ekonomi
Kebutuhan dunia akan mineral kritis untuk mendukung transisi energi bersih terancam tidak terpenuhi. Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan adanya perlambatan investasi di sektor ini akibat ketidakpastian pasar dan ekonomi global. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kekurangan pasokan mineral kritis di masa depan, menghambat laju transisi energi.
Mineral kritis seperti tembaga, litium, nikel, kobalt, dan rare earth elements (unsur tanah jarang) memegang peranan vital dalam berbagai teknologi energi terbarukan. Mulai dari turbin angin, jaringan listrik, hingga kendaraan listrik, semuanya bergantung pada ketersediaan mineral-mineral ini. Seiring dengan meningkatnya adopsi energi bersih, permintaan akan mineral kritis pun melonjak secara signifikan.
Perlambatan Investasi dan Konsentrasi Pasokan
Laporan terbaru IEA, "Global Critical Minerals Outlook 2025," mengungkapkan bahwa momentum investasi dalam pengembangan mineral kritis mengalami penurunan pada tahun 2024. Pertumbuhan investasi hanya mencapai 5%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 14% pada tahun sebelumnya. Setelah memperhitungkan inflasi biaya, pertumbuhan investasi riil hanya sebesar 2%, mencerminkan dampak dari ketidakpastian ekonomi meskipun prospek permintaan jangka panjang tetap kuat.
Aktivitas eksplorasi mineral baru juga menunjukkan tanda-tanda kejenuhan setelah mengalami pertumbuhan yang konsisten sejak tahun 2020. Meskipun pengeluaran untuk eksplorasi litium, uranium, dan tembaga meningkat, investasi untuk nikel, kobalt, dan seng justru mengalami penurunan tajam. Pendanaan untuk perusahaan rintisan (startup) di sektor mineral kritis juga mengalami perlambatan.
Selain perlambatan investasi, laporan IEA juga menyoroti masalah konsentrasi pasokan mineral kritis. Alih-alih menjadi lebih beragam, pasokan mineral kritis justru semakin terkonsentrasi pada beberapa pemasok utama, terutama dalam hal pemurnian dan pemrosesan. Antara tahun 2020 dan 2024, pertumbuhan produksi material olahan sangat terkonsentrasi di antara pemasok-pemasok terkemuka. Akibatnya, fasilitas untuk memurnikan mineral makin terkumpul di sedikit lokasi atau negara di dunia. Tren konsentrasi ini sangat menonjol untuk nikel dan kobalt yang meningkatkan risiko terhadap keamanan pasokan global. Dunia pun menjadi semakin bergantung pada segelintir negara terutama Indonesia untuk nikel dan China untuk beberapa pasokan mineral kritis yang sudah dimurnikan.
Dampak Harga Rendah dan Kelebihan Pasokan
Ironisnya, meskipun dunia sangat membutuhkan mineral-mineral ini untuk transisi energi, pasokan dari beberapa negara utama telah melonjak begitu cepat sehingga menciptakan kelebihan pasokan di pasar. Hal ini menyebabkan harga mineral-mineral tersebut, terutama logam baterai, anjlok.
Harga yang rendah ini kemudian menghambat investasi baru yang diperlukan untuk memastikan pasokan jangka panjang yang berkelanjutan. IEA menekankan bahwa industri logam baterai telah menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk merespons permintaan yang melonjak dengan meningkatkan produksi secara drastis dalam waktu singkat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan logam-logam lain yang sudah mapan. Sejak 2020, pertumbuhan pasokan logam baterai telah dua kali lipat dari tingkat yang terlihat pada akhir 2010.
Namun lonjakan pasokan yang cepat di sektor mineral kritis (terutama logam baterai) telah membalikkan tren harga yang tinggi dari tahun 2021-2022, menyebabkan harga jatuh kembali ke tingkat yang lebih rendah seperti sebelum pandemi. Sementara itu harga litium, yang telah melonjak delapan kali lipat selama 2021-2022, turun lebih dari 80 persen sejak 2023. Harga grafit, kobalt, dan nikel juga turun 10 hingga 20 persen pada tahun 2024.