Gejolak Geopolitik Timur Tengah Ancam Stabilitas Ekonomi Global, Indonesia Waspada
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai dampak eskalasi ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni, Menkeu Sri Mulyani menyoroti bagaimana konflik yang berkecamuk ini memicu fluktuasi harga komoditas, perubahan nilai tukar mata uang, pergerakan suku bunga, dan arus modal yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Lonjakan harga minyak mentah Brent hingga hampir 9% menjadi US$ 78 per barel menjadi indikasi awal dampak langsung dari ketegangan tersebut. Sri Mulyani menekankan bahwa situasi geopolitik yang memburuk akan terus menjadi tantangan yang signifikan bagi perekonomian global.
Di tengah kekhawatiran ini, terdapat sedikit harapan dari potensi perbaikan hubungan antara Amerika Serikat dan China melalui negosiasi perdagangan. Namun, Sri Mulyani mengingatkan bahwa proses negosiasi ini masih jauh dari kata selesai dan penuh dengan ketidakpastian. Selain itu, kesepakatan antara Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris terkait pengurangan tarif impor juga menambah kompleksitas situasi, mengingat tenggat waktu 90 hari untuk penundaan penerapan tarif semakin dekat.
Rencana kebijakan fiskal AS yang dikenal sebagai One Big Beautiful Bill juga diproyeksikan akan meningkatkan defisit APBN AS secara signifikan dalam 10 tahun mendatang. Hal ini menimbulkan sentimen negatif terhadap kebijakan fiskal negara-negara maju, khususnya AS, dan mempengaruhi persepsi terhadap risiko fiskal global.
Kombinasi dari berbagai faktor ini menciptakan ketidakpastian dalam pasar komoditas dan rantai pasok global, yang berpotensi menyebabkan dua risiko utama. Pertama, ketidakpastian harga cenderung meningkat, seperti yang terlihat pada kenaikan harga minyak. Kedua, prospek pertumbuhan ekonomi global cenderung melemah.
"Kombinasi kenaikan harga akibat disrupsi geopolitik dan keamanan menyebabkan tekanan harga, yang berarti inflasi naik. Namun, hal ini dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global melambat," jelas Sri Mulyani.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa dampak negatif dari gejolak ini akan dirasakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Nilai tukar mata uang dan suku bunga global akan terpengaruh, terutama di negara-negara yang dianggap penting secara sistemik seperti Amerika Serikat, China, Eropa, Jepang, dan Inggris. Sektor manufaktur diperkirakan akan mengalami tekanan.
Indikasi awal dari tekanan ini terlihat pada Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur global yang berada di bawah 50, yaitu 49,6. Ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur global sedang mengalami kontraksi, dengan angka terendah sejak Desember 2024. Lebih dari 70% negara yang disurvei menunjukkan kontraksi dalam kegiatan manufaktur mereka, termasuk Indonesia dengan indeks PMI manufaktur sebesar 47,4.