Peradi Soroti Potensi Penyalahgunaan Bukti Petunjuk dalam RKUHAP

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mendorong penghapusan bukti petunjuk dan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Usulan ini disampaikan dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR, di mana Peradi menyoroti potensi kerawanan dan penyalahgunaan yang melekat pada kedua jenis alat bukti tersebut.

Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, menjelaskan bahwa dalam pandangan organisasinya, alat bukti yang ideal dalam proses pidana seharusnya terbatas pada keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa. Ia berpendapat bahwa bukti petunjuk, yang selama ini diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah, seringkali menjadi celah bagi interpretasi subjektif dan berpotensi mengarah pada penghukuman yang tidak berdasar.

Potensi Penyalahgunaan Bukti Petunjuk

Menurut Sapriyanto, bukti petunjuk seringkali digunakan sebagai 'alat bantu' untuk meyakinkan hakim, terutama ketika alat bukti lain tidak secara tegas menunjuk pelaku tindak pidana. Hal ini dianggap berbahaya karena membuka peluang bagi hakim untuk menjatuhkan vonis berdasarkan interpretasi yang mungkin bias atau tidak akurat. Peradi menekankan bahwa penyidik seharusnya fokus pada pencarian alat bukti utama yang kuat dan tidak menggantungkan diri pada bukti petunjuk yang rentan disalahgunakan.

Netralitas Keterangan Ahli Dipertanyakan

Selain bukti petunjuk, Peradi juga menyoroti masalah netralitas keterangan ahli dalam proses peradilan pidana. Organisasi advokat ini berpendapat bahwa seringkali ahli yang diajukan oleh penyidik atau penuntut umum cenderung lebih dipercaya oleh hakim, sementara ahli yang diajukan oleh penasihat hukum kerap diabaikan. Ketidaksetaraan ini dinilai mencerminkan potensi ketidakadilan dalam proses pembuktian perkara.

Sebagai solusi, Peradi mengusulkan agar keterangan ahli cukup disampaikan secara tertulis dan dijadikan bagian dari bukti surat. Dengan demikian, kehadiran fisik ahli di persidangan dianggap tidak perlu, dan potensi bias yang mungkin muncul dapat diminimalkan.

Mendorong Alat Bukti Objektif

Secara keseluruhan, Peradi berharap agar RKUHAP yang baru dapat mengadopsi sistem pembuktian yang lebih mengedepankan alat bukti objektif dan tidak multitafsir. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa proses peradilan pidana berjalan lebih adil dan transparan.

Usulan Peradi ini menjadi bagian dari serangkaian masukan yang diberikan kepada Komisi III DPR dalam proses pembahasan RKUHAP. Selain Peradi, lembaga-lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta para pakar hukum pidana juga turut memberikan kontribusi dalam penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut.

Berikut adalah daftar alat bukti yang diusulkan oleh Peradi:

  • Keterangan Saksi
  • Bukti Surat
  • Bukti Elektronik
  • Keterangan Terdakwa