Konflik Tata Ruang di Jawa Barat: Sertifikat Milik Pribadi di Lahan Sempadan Sungai Bekasi Picu Krisis Banjir
Konflik Tata Ruang di Jawa Barat: Sertifikat Milik Pribadi di Lahan Sempadan Sungai Bekasi Picu Krisis Banjir
Kekacauan tata ruang di Jawa Barat kembali menjadi sorotan tajam menyusul temuan sertifikat hak milik pribadi di lahan sempadan Sungai Bekasi. Praktik ini mengakibatkan alih fungsi lahan yang seharusnya menjadi resapan air menjadi permukiman, dan berpotensi memperparah krisis banjir di wilayah tersebut. Kondisi ini menjadi bukti nyata betapa ambisi pembangunan seringkali mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan dan mengancam keseimbangan ekosistem.
Permasalahan ini diungkap oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang secara terpisah menyoroti tiga faktor utama penyebabnya. Pertama, permasalahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sepuluh kabupaten di Jawa Barat yang belum direvisi dan sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini. Keterlambatan revisi ini berdampak serius pada proses perizinan dan menyebabkan ketidakteraturan dalam pemanfaatan lahan. Kedua, lambatnya penyelesaian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang baru mencapai 17 persen di Jawa Barat. Ketidakjelasan perencanaan detail ini menyebabkan tumpang tindih kepemilikan lahan dan menimbulkan kerancuan dalam proses perizinan.
Ketiga, dan yang paling krusial, adalah penguasaan lahan sempadan sungai oleh masyarakat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Hal ini menyulitkan upaya pelebaran sungai untuk pengendalian banjir. Nusron Wahid menjelaskan, “Bibir sungai itu ada tanahnya, dan tanah ini sudah ditempati warga selama 10, 20, bahkan 30 tahun.” Kondisi ini menciptakan dilema, di mana kepentingan masyarakat yang telah bermukim lama berbenturan dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah banjir. Gubernur Dedi Mulyadi bahkan menemukan kendala dalam upaya normalisasi Sungai Cikeas akibat adanya sertifikat kepemilikan di lahan sempadan sungai tersebut. Beliau menyatakan, “Alat berat enggak bisa berjalan ke sana karena bibir Sungai Cikeas sudah bersertifikat dan berubah jadi rumah.”
Pertemuan antara Menteri Nusron Wahid dan Gubernur Dedi Mulyadi bertujuan untuk membahas solusi komprehensif atas permasalahan ini. Pertemuan tersebut menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi permasalahan tata ruang dan kepemilikan lahan di bantaran sungai. Langkah-langkah konkret yang dibutuhkan meliputi percepatan revisi RTRW dan penyelesaian RDTR, serta penataan kembali lahan sempadan sungai untuk mengembalikan fungsi ekologisnya. Selain itu, dibutuhkan strategi yang adil dan transparan dalam menyelesaikan konflik kepemilikan lahan antara kepentingan masyarakat dan kebutuhan ruang terbuka hijau serta pengendalian banjir.
Krisis tata ruang di Jawa Barat ini menyoroti pentingnya perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek lingkungan. Ke depan, diperlukan perbaikan sistem perencanaan tata ruang, penegakan hukum yang tegas, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah bencana alam.
Langkah-langkah yang perlu diambil:
- Percepatan Revisi RTRW: Segera menyelesaikan revisi RTRW di sepuluh kabupaten yang belum diperbarui.
- Percepatan Penyelesaian RDTR: Meningkatkan progres penyelesaian RDTR di Jawa Barat.
- Penegakan Hukum: Menindak tegas pelanggaran tata ruang dan alih fungsi lahan.
- Sosialisasi dan Edukasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya tata ruang dan lingkungan.
- Program Reboisasi dan Penghijauan: Melakukan program reboisasi dan penghijauan di bantaran sungai.
- Penyelesaian Konflik Lahan: Mencari solusi yang adil dan transparan dalam menyelesaikan konflik kepemilikan lahan di bantaran sungai.