Inovasi Climate Smart Shrimp Donggala: Panen Udang Vaname Melimpah dengan Pendekatan Berkelanjutan

Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, mencatatkan keberhasilan panen udang vaname melalui penerapan pendekatan Climate Smart Shrimp (CSS) di Desa Lalombi. Inisiatif budidaya inovatif ini menghasilkan lebih dari 50 ton udang selama periode panen yang berlangsung pada 10 hingga 12 Juni.

Keberhasilan ini menandai langkah maju dalam pengembangan model budidaya udang berkelanjutan, yang mengintegrasikan teknologi modern, prinsip-prinsip konservasi lingkungan, dan ketahanan pangan biru. Pendekatan CSS dirancang khusus untuk memulihkan ekosistem mangrove yang vital dan menerapkan praktik budidaya yang bertanggung jawab serta ramah lingkungan. Tujuannya adalah untuk menjawab tantangan perubahan iklim global, menjaga keberlanjutan sektor perudangan yang penting bagi ekonomi lokal, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut.

Burhanuddin, Fisheries and Aquaculture Program Manager Konservasi Indonesia, menjelaskan bahwa pendekatan CSS merupakan respons terhadap degradasi lingkungan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan mangrove dan praktik tambak yang tidak berkelanjutan. Model ini mengintegrasikan beberapa elemen kunci:

  • Teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL): Memastikan air limbah dari tambak diolah dengan baik sebelum dilepaskan kembali ke lingkungan.
  • Praktik Budidaya Berkelanjutan: Menggunakan metode budidaya yang meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
  • Restorasi Mangrove: Menanam kembali mangrove sebagai biofilter alami untuk membersihkan air dan menyediakan habitat bagi berbagai spesies.

Integrasi ini menciptakan keseimbangan antara peningkatan produksi udang dan pelestarian ekosistem pesisir yang rapuh. Dari total luas lahan 10 hektare, sekitar 6,5 hektare dialokasikan untuk tambak udang, sementara sisanya seluas 3,5 hektare didedikasikan untuk restorasi mangrove dan pembangunan instalasi IPAL.

Restorasi mangrove memiliki manfaat ganda, yaitu menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan memperkuat ketahanan pangan biru. Potensi serapan karbon dari restorasi mangrove diperkirakan mencapai 7,4 ton per hektare per tahun. Dengan stok karbon antara 500 hingga 1.083 ton karbon per hektare, restorasi mangrove seluas 3,5 hektare dapat menghasilkan stok karbon sekitar 3.700 ton.

Konservasi Indonesia menekankan bahwa program ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekaligus mendukung upaya konservasi lingkungan. Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung keanekaragaman hayati biota perairan, menyediakan habitat bagi kepiting bakau dan berbagai jenis ikan yang menggunakan mangrove sebagai tempat bertelur sebelum bermigrasi ke laut. Nutrisi yang ada di dalam ekosistem mangrove menjadi sumber makanan penting bagi biota-biota ikan.

Dari sisi teknologi, Aryo Wiryawan, CEO JALA—startup teknologi akuakultur yang berkolaborasi dengan Konservasi Indonesia dalam program Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) sejak Februari lalu—menjelaskan bahwa sistem pemantauan kualitas air dan pelacakan produksi secara real-time memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data dan meningkatkan transparansi rantai pasok. Panen perdana tambak CSSF di Lalombi berhasil mencapai hasil 52 ton per hektare, melampaui target awal 40 ton per hektare per siklus. Sebagai perbandingan, pendekatan konservatif biasanya hanya menghasilkan sekitar 30 ton. Udang yang dihasilkan tumbuh optimal, berukuran hingga 24 ekor per kilogram, dan memenuhi standar ekspor. Ini menunjukkan manajemen budidaya yang efektif dan memiliki potensi besar untuk pasar internasional.

Aryo berharap keberhasilan panen pertama ini dapat menjadi model nasional yang direplikasi di berbagai kawasan pesisir Indonesia. Sistem ini mampu menjawab tantangan krusial seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan ekonomi dalam satu pendekatan terpadu. Keberhasilan panen ini lebih dari sekadar pencapaian produksi, ini menunjukkan arah baru bagi sektor akuakultur di Indonesia, yang menggabungkan produktivitas dan keberlanjutan dalam satu kerangka kerja. Jika model ini berhasil direplikasi secara luas, ia berpotensi mengubah wajah perikanan budidaya nasional—menjadi lebih tangguh terhadap krisis iklim sekaligus berpihak pada ekosistem dan masyarakat pesisir.