Korban Kekejaman Mantan Pacar Menuntut Keadilan: Bebasnya Jenkin Picu Ketakutan Mendalam

Korban Kekejaman Mantan Pacar Menuntut Keadilan: Bebasnya Jenkin Picu Ketakutan Mendalam

Tina Nash, warga Cornwall, Inggris, hidup dalam bayang-bayang trauma yang disebabkan oleh mantan kekasihnya, Shane Jenkin. Insiden brutal pada tahun 2011, di mana Jenkin menyiksa Tina selama 12 jam hingga menyebabkan kebutaan permanen, telah meninggalkan bekas luka mendalam yang tak hanya fisik, tetapi juga psikologis. Kejadian tersebut bukan hanya merenggut penglihatannya, tetapi juga kemampuannya untuk melihat kedua anaknya. Kini, bayang-bayang tersebut kembali menghantui Tina, seiring dengan kabar pembebasan bersyarat Jenkin dari penjara.

Meskipun dijatuhi hukuman seumur hidup atas kejahatan mengerikan tersebut, Jenkin kini dipindahkan ke penjara kategori D, sebuah penjara terbuka untuk narapidana berisiko rendah. Keputusan ini telah memicu rasa takut yang luar biasa pada Tina, yang merasa sistem peradilan telah gagal memberikan keadilan yang seharusnya. "Aku merasa sangat takut akan keselamatan saya," ungkap Tina kepada Daily Mail. "Dewan pembebasan bersyarat mengatakan dia pendendam, dan aku mendengar dari orang-orang di tempat dia berada bahwa dia tidak bisa berhenti berbicara tentangku." Ketakutan Tina diperparah oleh informasi bahwa Jenkin menyimpan dendam dan kemungkinan besar akan mendatanginya.

Lebih lanjut, Tina mengungkapkan keputusasaannya terhadap sistem hukum Inggris yang dianggapnya tidak adil. Ia tidak diberi kesempatan untuk mengajukan banding atas keputusan pemindahan Jenkin ke penjara terbuka, dan bahkan dimarahi oleh petugas pembebasan bersyarat karena berani menyuarakan kekhawatirannya. "Mereka bilang padaku, 'Apa kamu tidak kasihan padanya, membebani dia dengan ini?'" ujar Tina, menggambarkan betapa ironisnya situasi yang dihadapinya. "Aku punya hak untuk bicara, dan aku tidak ingin hal ini ditutup-tutupi. Aku tidak ingin hal ini terjadi pada orang lain." Kekecewaan Tina bukan hanya terhadap pelaku, tetapi juga terhadap sistem yang dinilai gagal melindungi korban.

Kronologi penyerangan yang dialami Tina mengungkap betapa kejamnya tindakan Jenkin. Terinspirasi oleh film horor, Jenkin menyerang Tina di rumahnya sendiri, memukulinya dengan brutal, mencekiknya, dan mencungkil kedua matanya. Selama 12 jam, Tina menderita tanpa pertolongan medis. "Aku meraba wajahku, dan aku tahu mataku sudah keluar dari tempatnya. Aku pikir aku sudah mati," kenang Tina tentang malam mengerikan tersebut. Meskipun menjalani operasi, penglihatannya tak dapat dipulihkan.

Hukuman seumur hidup yang dijatuhkan pada Jenkin pada tahun 2012, dengan minimal enam tahun masa tahanan, kini terasa seperti sebuah lelucon bagi Tina. Ia merasa bahwa dirinya yang menjalani hukuman seumur hidup, bukan Jenkin. "Aku tidak akan pernah melihat wajah anak-anakku lagi, dan dia akan diberikan kebebasannya kembali," ucapnya dengan nada pilu. Kebebasan Jenkin bukan hanya ancaman bagi Tina, tetapi juga sebuah pertanyaan besar tentang keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga di Inggris.

Kasus Tina Nash menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembebasan bersyarat dan perlindungan bagi korban kekerasan. Ketakutannya yang beralasan dan pengalamannya yang menyayat hati harus menjadi pengingat bagi pihak berwenang untuk memprioritaskan keselamatan korban dan memastikan keadilan benar-benar ditegakkan, bukan hanya sekedar di atas kertas. Peristiwa ini juga menjadi peringatan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan dukungan yang dibutuhkan bagi para korban.