Kontroversi Dibalik Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia
Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional Mencuat ke Permukaan
Sebuah inisiatif untuk mendokumentasikan ulang sejarah nasional Indonesia telah memicu perdebatan sengit di kalangan sejarawan dan budayawan. Proyek ini bermula pada November 2024, ketika Menteri Kebudayaan saat itu, Fadli Zon, mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh sejarah dan budaya di Kementerian Kebudayaan. Dalam forum tersebut, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Agus Mulyana, mengusulkan perlunya penulisan ulang sejarah nasional.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian konsesi, salah satunya diadakan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada Desember 2024. Fadli Zon hadir sebagai pembicara utama dalam acara tersebut, di mana pembahasan mengenai penulisan ulang sejarah semakin intensif. Dari sinilah kemudian dibentuk tim khusus yang bertugas menyusun ulang narasi sejarah Indonesia. Tiga sejarawan senior, yaitu Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, ditunjuk sebagai ketua tim perumus. Selain itu, Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan, juga turut dilibatkan, yang sebelumnya berpengalaman dalam proyek penulisan 'Indonesia dalam Arus Sejarah'.
Proses Penulisan yang Dipertanyakan
Proses pembentukan tim penulisan ulang sejarah ini menuai kritik dari sejumlah pihak. Anggota MSI diminta untuk mengumpulkan nama-nama sejarawan dan arkeolog yang akan dilibatkan dalam proyek ambisius yang direncanakan terdiri dari 10 jilid ini. Namun, Profesor Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog yang ditunjuk sebagai editor, mengungkapkan kekecewaannya karena konsep dan isi buku belum pernah dibahas secara mendalam dengan para editor sebelum pembagian tugas pengkurasian.
"Seharusnya, dalam etika keilmuan, kita perlu brainstorming dan berdiskusi, bahkan mengadakan seminar untuk mendapatkan masukan yang komprehensif," ujarnya.
Kritik semakin tajam ketika Kementerian Kebudayaan menggelar rapat tim inti tanpa melibatkan masukan dari Harry. Rapat tersebut membahas konsep, metodologi, dan istilah yang akan digunakan dalam penulisan. Salah satu poin yang diperdebatkan adalah penggunaan istilah 'Sejarah Awal' untuk menggantikan konsep prasejarah. Harry berpendapat bahwa hal ini menyalahi konsensus internasional yang mendefinisikan sejarah sebagai masa setelah ditemukannya tulisan.
Dugaan Intervensi dan Penghilangan Fakta Sejarah
Kontroversi mencapai puncaknya ketika draf awal penulisan ulang sejarah bocor ke publik. Draf tersebut menuai kecaman karena dinilai menghilangkan sejumlah peristiwa penting, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pembantaian terkait PKI, penembakan misterius, dan penculikan aktivis 1998 tidak tercantum dalam draf tersebut. Pernyataan kontroversial Fadli Zon terkait peristiwa 1998 semakin memperburuk situasi.
Sejarawan Erwin Kusuma menilai draf tersebut rancu dan menunjukkan adanya upaya pemaksaan kehendak pemerintah. Ia menyoroti penulisan di jilid 10 yang memasukkan era Presiden Joko Widodo, yang dianggap tidak sesuai dengan metodologi sejarah.
Bonnie Triyana, seorang sejarawan dan anggota Komisi X DPR, juga mengkritik proses penulisan yang terburu-buru dan penggunaan nada positif dalam penulisan sejarah. Menurutnya, sejarah harus ditulis sesuai dengan fakta dan metodologi yang berlaku.
Tanggapan Tim Penulis dan Ketidakpastian Jadwal Penerbitan
Jajat Burhanudin, salah satu ketua tim penulisan, membantah adanya pemaksaan dari pihak penguasa dan menjamin kebebasan penuh bagi tim penulis dalam menentukan substansi dan narasi. Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan nada positif bertujuan untuk membuat fakta sejarah lebih berimbang, bukan untuk mengaburkan atau menghilangkan peristiwa penting.
Meski demikian, Jajat mengakui bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini masih membutuhkan proses yang panjang dan ia tidak yakin dapat diterbitkan sesuai target pada 17 Agustus 2025.
Upaya konfirmasi dari pihak detikX kepada Fadli Zon dan Agus Mulyana belum mendapatkan respons hingga artikel ini diterbitkan, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan kejelasan proyek penulisan ulang sejarah ini.