Perbedaan Data Kemiskinan: Antara Standar BPS dan Tolok Ukur Bank Dunia
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia (World Bank) memiliki perbedaan metodologi dalam mengukur garis kemiskinan, yang memicu perdebatan mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Perbedaan ini menjadi sorotan setelah Bank Dunia menerbitkan laporan Macro Poverty Outlook 2025 yang mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah ke atas.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan sebesar 6,85 dollar AS per kapita per hari, setara dengan Rp 111.600 (dengan kurs Rp 16.290). Dengan standar ini, Bank Dunia memperkirakan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2024. Angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 61,8 persen.
Data ini kontras dengan angka yang dirilis oleh BPS, yang mencatat tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa pada September 2024. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan metodologi yang digunakan oleh kedua lembaga. BPS menggunakan standar nasional, sementara Bank Dunia mengacu pada standar internasional yang disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP) negara-negara berpenghasilan menengah ke atas.
Bank Dunia kemudian memperbarui acuan penghitungan garis kemiskinan dari PPP 2017 menjadi PPP 2021. Hal ini menyebabkan peningkatan garis kemiskinan menjadi 8,30 dollar AS per kapita per hari untuk negara berpenghasilan menengah ke atas. Akibatnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut perhitungan Bank Dunia meningkat menjadi 68,25 persen pada tahun 2024, atau 194,67 juta jiwa.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, berpendapat bahwa garis kemiskinan yang digunakan BPS sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Ia mendesak BPS untuk segera merevisi indikator perhitungan garis kemiskinan nasional dengan melibatkan akademisi independen dan lembaga internasional. Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, juga menyampaikan kekhawatiran serupa, dan menilai standar garis kemiskinan BPS terlalu rendah sehingga tidak mencerminkan realitas.
Pemerintah melalui Dewan Ekonomi Nasional (DEN) telah mengkaji ulang garis kemiskinan nasional. Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, menjelaskan bahwa kajian ini dilakukan karena standar yang digunakan saat ini perlu diubah. Anggota DEN, Arief Anshory Yusuf, mengusulkan agar garis kemiskinan BPS dinaikkan menjadi Rp 765.000 per kapita per bulan. Ia beralasan bahwa standar yang digunakan BPS terlalu rendah dan mendekati batas kemiskinan ekstrem internasional.
Pemerintah bersama DPR juga tengah mendalami garis kemiskinan nasional sebagai bagian dari penyusunan RAPBN 2026. Pemerintah memfokuskan kebijakan untuk menghapus tingkat kemiskinan ekstrem. Oleh karena itu, indikator kemiskinan menjadi bagian dari agenda pembahasan dengan DPR.
Bank Dunia mengakui bahwa garis kemiskinan yang dirilis BPS lebih relevan untuk Indonesia. Bank Dunia menyatakan bahwa data yang mereka rilis bertujuan untuk menjadi tolok ukur dalam memantau kondisi kemiskinan global dan membandingkan kondisi kemiskinan antar negara. Bank Dunia sengaja menggunakan pendekatan pengukuran yang berbeda dengan pendekatan pemerintah tiap negara, mengingat perbedaan tujuan dari kedua pengukuran. Garis kemiskinan nasional disusun oleh pemerintah dan disesuaikan untuk konteks spesifik suatu negara. Data tersebut digunakan untuk pengambilan kebijakan pada tingkat nasional, seperti dukungan terhadap kelompok miskin.