Pemotongan Bantuan AS Sebabkan Krisis Obat HIV di Kenya

Pemotongan Bantuan AS Sebabkan Krisis Obat HIV di Kenya

Pemotongan drastis bantuan asing Amerika Serikat untuk program kesehatan di Kenya telah menimbulkan krisis serius bagi pasien HIV di negara tersebut. Pemerintah Trump, awal tahun ini, memangkas lebih dari 80 persen program bantuan melalui USAID, mengakibatkan terhentinya distribusi obat antiretroviral (ARV) yang vital bagi jutaan orang yang hidup dengan HIV. Akibatnya, klinik-klinik kesehatan di Nairobi dan sekitarnya kini menghadapi kekurangan obat ARV yang kritis, mengancam keberlangsungan pengobatan bagi pasien yang menggantungkan hidup mereka pada bantuan tersebut.

Situasi ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa jutaan dosis obat ARV yang disumbangkan pemerintah AS tersimpan tak terpakai di gudang-gudang di pinggiran kota. Meskipun jarak antara gudang dan klinik-klinik hanya setengah jam perjalanan, hambatan birokrasi dan pembekuan pendanaan menyebabkan obat-obatan tersebut tak dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan. Alice Okwirry, seorang pasien HIV di Kenya, menjadi salah satu contoh nyata dari dampak kebijakan ini. Ia yang dulunya mendapatkan persediaan obat untuk enam bulan, kini hanya mampu mendapatkan cukup obat untuk satu bulan saja. Ketakutan akan kematian menghantui dirinya dan pasien lainnya yang kini menghadapi kekurangan obat.

Kekacauan rantai pasokan global untuk produk medis untuk melawan HIV dan penyakit lainnya, akibat pembekuan bantuan selama 90 hari tersebut, telah menimbulkan dampak yang meluas. Bahkan distribusi obat yang sudah berada di Kenya terhambat karena sistem pembayaran USAID lumpuh. Para kontraktor yang menjalankan program tidak dibayar, membuat distribusi obat terhenti. Hal ini diungkapkan oleh Mackenzie Knowles-Coursin, mantan wakil kepala komunikasi untuk USAID, Afrika Timur, yang mengundurkan diri sebagai protes atas kebijakan ini. Pemerintah Kenya telah mengidentifikasi kebutuhan dana sekitar USD 10 juta untuk mendistribusikan obat-obatan dan peralatan medis senilai USD 34 juta yang tersimpan di gudang, namun persetujuan pencairan dana dari pihak AS masih tertunda.

Mission for Essential Drugs and Supplies, sebuah lembaga amal yang mengelola gudang tersebut, biasanya memasok obat-obatan ke sekitar 2.000 klinik di seluruh Kenya. Lembaga ini menyimpan persediaan yang cukup besar, termasuk 2,5 juta botol ARV, 750.000 alat uji HIV, dan 500.000 obat malaria. Meskipun Kementerian Kesehatan Kenya berharap dapat memobilisasi dana dalam waktu dua hingga empat minggu untuk mendistribusi persediaan yang ada, kenyataannya, banyak pasien HIV di Kenya saat ini hanya mendapatkan cukup ARV untuk satu minggu saja. Nelson Otwoma, Direktur Jaringan Pemberdayaan Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS di Kenya, menegaskan situasi kritis tersebut.

Dengan kasus HIV di Kenya yang mencapai 1,4 juta jiwa, menempatkannya sebagai negara dengan kasus HIV terbesar ketujuh di dunia, dampak pemotongan bantuan AS ini sangat signifikan. Rencana Darurat Presiden untuk Penanggulangan AIDS (PEPFAR), yang sebelumnya memasok sekitar 40 persen obat dan perlengkapan HIV di Kenya, kini praktis lumpuh, meninggalkan jutaan nyawa dalam bahaya. Kejadian ini menyoroti kerentanan sistem kesehatan negara berkembang terhadap perubahan kebijakan politik internasional dan perlunya solusi jangka panjang yang berkelanjutan untuk mengatasi krisis kesehatan global seperti HIV/AIDS.