Kontroversi Pembangunan Ruko di Cilincing: Pemkot Jakut Klaim Sesuai Aturan, Warga Sempat Menolak
Polemik pembangunan sepuluh unit rumah toko (ruko) tiga lantai di kawasan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, terus bergulir. Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Utara menegaskan bahwa proyek tersebut tidak melanggar peraturan yang berlaku.
Kepastian ini disampaikan di tengah gelombang penolakan dari sebagian warga RW 07 yang mengklaim lahan tersebut sebelumnya merupakan fasilitas umum (fasum) berupa lapangan dan taman. Warga merasa kehilangan ruang publik yang selama ini menjadi pusat aktivitas sosial dan keagamaan.
Ardan Solihin, Kepala Bagian Pembangunan Kota dan Lingkungan Hidup Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Utara, menjelaskan bahwa lahan seluas 3.900 meter persegi itu memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) nomor 1.547 atas nama PT Nusa Persada. Dengan demikian, lahan tersebut secara legal bukan merupakan fasum atau fasilitas sosial (fasos) milik publik.
"Tercatat milik PT Nusa Persada dengan sertifikat HGB nomor 1.547. Saat ini pemilik telah memfungsikan lahan dan melakukan pembangunan," ujar Ardan.
Menurut Ardan, pihak pengembang telah melakukan dialog dengan perwakilan warga yang menolak pembangunan ruko. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa status lahan tersebut bukan merupakan fasum atau fasos. Selain itu, pengembang meyakinkan warga bahwa pembangunan ruko telah memenuhi semua persyaratan dan regulasi yang berlaku.
Kesepakatan antara pengembang dan warga dituangkan dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh 35 perwakilan warga. Isi surat tersebut menyatakan bahwa warga tidak keberatan dengan keberadaan ruko dan tidak akan mengajukan tuntutan apapun terkait pembangunan tersebut.
"Juga disepakati warga tidak keberatan dengan keberadaan ruko dan tidak akan melakukan tuntutan atas keberadaan ruko tersebut," imbuh Ardan.
Meski demikian, penolakan terhadap pembangunan ruko ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Rully (44), seorang warga setempat, mengungkapkan bahwa penolakan telah dilakukan sejak tahun 2010, ketika rencana pembangunan ruko pertama kali muncul. Bahkan, proyek tersebut sempat disegel oleh Pemkot Jakarta Utara sebelum akhirnya diizinkan kembali.
Warga merasa kehilangan fungsi lapangan dan taman yang selama ini menjadi tempat bermain anak-anak, berolahraga, berinteraksi sosial, hingga digunakan untuk pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha. Keberadaan ruko dinilai akan menghilangkan ruang terbuka hijau dan mengurangi kualitas hidup warga sekitar.