Usulan Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara: Antara Ambisi Tax Ratio dan Efisiensi Anggaran

markdown Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran bidang perpajakan, Edi Slamet Irianto, baru-baru ini memperkenalkan struktur organisasi yang direncanakan untuk Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN), sebuah lembaga perpajakan yang diusulkan. Langkah ini memicu perdebatan sengit di kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik.

Irianto, seorang pensiunan pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan guru besar hukum pajak, menjelaskan bahwa pembentukan BOPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, dengan target ambisius mencapai tax ratio 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menciptakan organisasi yang lebih efisien dan fokus dalam mengumpulkan pajak.

Namun, usulan ini menuai kritik tajam. Banyak pihak mempertanyakan validitas argumentasi yang mendasari pembentukan BOPN. Kritik utama berfokus pada kurangnya bukti empiris yang mendukung klaim bahwa pemisahan organisasi secara otomatis akan meningkatkan penerimaan pajak. Para analis berpendapat bahwa perubahan struktural semata tidak menjamin peningkatan kinerja jika tidak disertai dengan perbaikan sistem administrasi pajak, penegakan hukum yang lebih kuat, dan peningkatan kesadaran pajak masyarakat.

Selain itu, muncul kekhawatiran mengenai potensi pemborosan anggaran negara akibat pembentukan BOPN. Struktur organisasi yang diusulkan oleh Irianto menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah jabatan eselon, baik di kantor pusat maupun di kantor perwakilan. Hal ini berpotensi meningkatkan beban gaji dan tunjangan pegawai, yang pada akhirnya akan membebani keuangan negara.

Berikut adalah gambaran potensi penambahan jabatan dan pegawai baru berdasarkan struktur yang diusulkan:

  • Kepala Kantor Perwakilan BPOP (sekarang Kepala Kantor Wilayah DJP): Naik menjadi Eselon Ib (sebelumnya Eselon IIa)
  • Potensi penambahan jabatan baru:
    • 34 Pejabat Eselon I
    • 204 Pejabat Eselon II
    • 1.224 Pejabat Eselon III
    • 7.344 Pejabat Eselon IV
  • Potensi kebutuhan pelaksana baru: 44.064 orang (dengan asumsi 6 staf per Eselon IV)
  • Total potensi kebutuhan pegawai baru di kantor perwakilan: 52.870 orang

Perhitungan di atas belum termasuk penambahan jabatan fungsional seperti pemeriksa pajak, penilai pajak, pemeriksa bea cukai, analis PNBP, dan penyuluh pajak. Selain itu, terdapat potensi penambahan jabatan di kantor pusat BOPN, terutama untuk jabatan Eselon I dan II.

Kritik juga menyoroti potensi rangkap jabatan dalam struktur BOPN yang diusulkan. Beberapa nama pejabat tinggi negara, seperti Menko Perekonomian, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala PPATK, direncanakan untuk duduk sebagai anggota dewan pengawas. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Pembentukan BOPN juga akan memerlukan perubahan undang-undang, terutama Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Perubahan ini akan berdampak pada perubahan proses bisnis dan sistem, yang akan membutuhkan investasi besar. Sementara itu, proyek sistem inti administrasi pajak (CORETAX) yang sedang berjalan masih menghadapi berbagai tantangan, meskipun telah menelan biaya lebih dari satu triliun rupiah.

Di tengah perdebatan yang berkembang, masyarakat sipil diharapkan untuk terus mengkritisi usulan pembentukan BOPN. Kritik yang konstruktif akan membantu para pembuat kebijakan, termasuk Presiden dan DPR, untuk mempertimbangkan implikasi dari pembentukan BOPN secara matang dan memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak tanpa membebani keuangan negara.

Pada akhirnya, keputusan mengenai pembentukan BOPN harus didasarkan pada analisis yang komprehensif dan transparan, dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk potensi manfaat, risiko, dan biaya yang terkait. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut selaras dengan tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.