Ironi Pendidikan: Mengapa Lulusan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan Mendominasi Angka Pengangguran?
Di tengah gembar-gembor pemulihan ekonomi, sebuah ironi mencuat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang tercatat 4,76 persen, terendah pasca pandemi. Namun, di balik angka itu, tersembunyi fakta yang mengkhawatirkan: jumlah penganggur justru membengkak menjadi 7,28 juta jiwa.
Statistik makro yang tampak menggembirakan ini menyembunyikan luka mikro yang semakin menganga. Ketersediaan tenaga kerja melimpah, tetapi dunia usaha tak mampu menyerapnya. Pertumbuhan ekonomi yang didengungkan seolah menjadi tameng bagi pahitnya realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Yang paling mencolok adalah tingginya angka pengangguran dari kalangan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mereka menjadi penyumbang terbesar dalam struktur pengangguran, dengan lulusan SMA mencapai 28,01 persen dan SMK 23,37 persen. Disusul kemudian oleh lulusan SD (17,09 persen), SMP (16,20 persen), Diploma IV hingga S3 (13,89 persen), dan Diploma I-III (2,44 persen).
Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam menyelaraskan pendidikan dengan kebutuhan riil dunia kerja. Di balik euforia wisuda dan ijazah yang digenggam erat, tersimpan harapan keluarga, kerja keras bertahun-tahun, serta impian masa depan yang lebih baik. Namun, setelah lulus, mereka justru terombang-ambing dalam ketidakpastian, terjebak antara ambisi dan realitas, antara potensi dan pengabaian.
Akar Permasalahan Pengangguran Terhadap Lulusan Sekolah Menengah
Ada dua akar masalah utama yang menyebabkan fenomena ini. Pertama, ketidaksesuaian (mismatch) antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan dunia kerja yang dinamis. Kurikulum yang ketinggalan zaman, metode pengajaran yang kurang relevan, dan kurangnya keterlibatan industri dalam proses pendidikan menjadi penyebab utama.
Kedua, minimnya penciptaan lapangan kerja formal yang stabil dan memberikan perlindungan bagi pekerja. Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, investasi yang tidak menciptakan banyak lapangan kerja, serta regulasi yang kurang berpihak pada pekerja menjadi faktor penghambat.
BPS mencatat ada 32,12 juta lulusan SMA dan 20,35 juta lulusan SMK yang menjadi bagian dari angkatan kerja saat ini. Potensi yang luar biasa ini justru menjadi kelompok paling rentan terperangkap dalam sektor informal, pekerjaan tidak layak, atau bahkan menganggur sama sekali.
Realitasnya, banyak dari mereka bekerja serabutan, menjadi pelayan toko, montir bengkel, tukang parkir, atau pencuci mobil. Bahkan, ada lulusan S1 yang menjadi petugas kebersihan dan lulusan S2 yang menjadi pengemudi ojek online. Mereka bekerja bukan karena minat atau kompetensi, melainkan karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Mereka adalah korban underemployment, bekerja jauh di bawah kapasitas keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki.
Ironisnya, mereka bekerja tanpa perlindungan hukum, upah di bawah standar, tanpa kepastian karier, dan bisa diberhentikan sewaktu-waktu. Situasi ini tidak hanya menggerogoti kesejahteraan ekonomi mereka, tetapi juga merusak makna pendidikan itu sendiri. Kita menyaksikan fenomena education-occupation mismatch yang semakin merajalela, ketimpangan antara latar belakang pendidikan dan realitas pekerjaan.
Ini adalah kegagalan kolektif. Sistem pendidikan gagal menciptakan lulusan yang relevan, dan pasar kerja gagal memberikan ruang tumbuh bagi generasi muda. Ketika lulusan SMK jurusan teknik atau administrasi justru bekerja sebagai tukang las tanpa alat keselamatan kerja atau petugas kebersihan tanpa asuransi, kita tidak lagi berbicara tentang mismatch, melainkan disorientasi pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Efektivitas Kebijakan Pemerintah
Upaya pemerintah seperti pelatihan vokasional dan insentif bagi dunia usaha patut diapresiasi, tetapi masih jauh dari memadai. Banyak pelatihan yang tidak berbasis data kebutuhan industri real-time dan tanpa kepastian penempatan. Akibatnya, program ini cenderung menjadi proyek formalitas administratif yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Kebijakan strategis pemerintah juga perlu dikritisi. Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dijanjikan sebagai pemicu investasi justru banyak dikritik karena mendegradasi perlindungan buruh, menurunkan standar upah minimum, dan membuka celah fleksibilitas kerja yang semakin menekan pekerja muda. Dalam konteks pengangguran terdidik, UU ini justru memperparah ketimpangan karena memperkuat dominasi fleksibilitas pasar ketimbang keamanan kerja.
Alih-alih memperluas kesempatan kerja layak, regulasi ini mendegradasi standar ketenagakerjaan dengan melonggarkan kontrak outsourcing, mengurangi pesangon, dan memperbesar ruang bagi sistem kerja tanpa kepastian jangka panjang.
Kritik ini bukan sekadar retorika, tetapi didukung oleh berbagai kajian akademik, termasuk laporan dari organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) dan akademisi hukum ketenagakerjaan. Mereka menyoroti bahwa fleksibilitas pasar kerja tanpa kejelasan proteksi justru menciptakan "prekariat," kelas pekerja yang hidup dalam ketidakpastian.
Bagi lulusan SMA dan SMK, UU ini menciptakan jebakan baru: mereka didorong masuk ke pasar kerja fleksibel yang longgar dalam hak, tetapi keras dalam tuntutan. Terlalu mengedepankan narasi "kemudahan investasi" tanpa menghitung dampak jangka panjang terhadap kohesi sosial. Kita membutuhkan reformasi pasar kerja yang adil, bukan sekadar deregulasi yang melucuti martabat kerja.
Gelombang Migrasi Pekerja Muda ke Luar Negeri
Fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah gelombang migrasi kerja ke luar negeri oleh anak-anak muda lulusan SMA/SMK. Banyak dari mereka nekat mengadu nasib sebagai buruh kasar atau semi-terampil ke berbagai negara. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang tertipu agen abal-abal, menjadi korban eksploitasi, atau bahkan mengalami gangguan jiwa karena tekanan dan beban kerja yang berat.
Indonesia kehilangan bonus demografi dalam wujud pekerja muda yang belum sempat tumbuh karena dipaksa hengkang akibat kegagalan sistem domestik. Ketiadaan peluang kerja layak di dalam negeri memaksa mereka melirik luar negeri sebagai jalan keluar. Mereka melamar menjadi pekerja kebun, kuli bangunan, operator mesin, hingga caregiver lansia di panti jompo.
Namun, kenyataan di balik euforia kerja ke luar negeri tidak seindah iklan agen penyalur. Banyak dari mereka tidak dibekali kecakapan dasar, terjebak sistem kerja eksploitatif, dan sebagian besar tidak mendapatkan kontrak kerja legal. Bahkan, sejumlah anak muda Indonesia mengalami penyiksaan, pelecehan, hingga gangguan kejiwaan akibat tekanan hidup di luar negeri.
Ini adalah bentuk paling ekstrem dari ketimpangan: negara gagal menyediakan ruang hidup yang layak bagi anak mudanya, sehingga mereka diekspor dalam posisi paling rentan, nyaris tanpa perlindungan. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada remitansi dari buruh migran bukanlah solusi pembangunan ekonomi, melainkan pertanda rapuhnya ekosistem ketenagakerjaan nasional.
Solusi dan Rekomendasi
Apabila tren pengangguran terdidik ini tidak ditanggulangi secara struktural dan cepat, kita bukan hanya menghadapi masalah ekonomi, tetapi potensi destabilisasi sosial. Kita harus segera melakukan integrasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri yang dinamis, bukan sekadar lip service. Model industry-recognized certification perlu diadaptasi untuk memastikan lulusan memiliki kompetensi yang diakui dan dibutuhkan dunia usaha.
Negara harus memperkuat perlindungan hukum bagi pekerja muda, melarang praktik upah murah (wage dumping), dan memberikan insentif nyata bagi perusahaan yang mempekerjakan lulusan baru. Di tingkat lokal, pemerintah daerah bisa menjadi motor solusi dengan mengembangkan program padat karya berbasis komunitas dan inkubasi UMKM berbasis keahlian anak muda.
Ekosistem ekonomi yang berpihak pada pekerja muda tidak hanya akan menyelamatkan mereka dari pengangguran, tetapi juga mendorong pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan. Dunia pendidikan harus berani mengevaluasi diri: apakah kurikulum mereka hanya mencetak nilai akademik atau juga keterampilan hidup dan mental tahan banting? Lembaga pendidikan harus mulai mengukur keberhasilan berdasarkan tingkat penyerapan kerja, bukan hanya akreditasi dan IPK lulusan.
Dunia usaha pun harus berhenti bersikap pasif. Jangan lagi hanya "menunggu yang siap pakai," tetapi turut serta membentuk potensi melalui program pemagangan dan rekrutmen inklusif. Pemerintah dan masyarakat harus mendukung semangat ini melalui pembukaan akses terhadap pelatihan online, bantuan modal kecil, inkubasi kewirausahaan, dan membangun narasi sosial yang tidak menghakimi proses menunggu sebagai aib.
Kita harus mulai mengangkat cerita tentang ketekunan, inovasi, dan daya lenting anak-anak muda dalam menghadapi ketidakpastian. Pengangguran bukan sekadar soal angka. Ia adalah wajah dari anak muda yang menunduk di meja makan karena belum bisa membantu ekonomi keluarga. Ia adalah raut kecewa dari orang tua yang tak kunjung melihat anaknya diterima kerja. Ia adalah rasa malu dari seorang sarjana yang bekerja serabutan hanya demi bertahan hidup.
Maka, pertumbuhan ekonomi yang sejati bukan soal seberapa besar PDB naik, tetapi seberapa luas jalan dibuka bagi mereka yang muda, terdidik, namun selama ini terpinggirkan.
Kepada para pemuda Indonesia, generasi pemilik masa depan, ketahuilah bahwa keterlambatan bukanlah kekalahan. Dunia kerja memang belum sempurna, tetapi kalian tidak sendiri. Teruslah mengasah diri, bangun jaringan, pelajari hal-hal baru, dan percayalah bahwa kerja keras kalian tidak akan sia-sia. Sambil menunggu perubahan dari negara, mari kita tumbuhkan kekuatan dari dalam. Sebab ketika kesempatan itu datang, kalian tidak hanya akan menjadi pencari kerja, tapi pencipta masa depan.