RUPTL 2025-2034 Dikritik karena Prioritaskan Energi Fosil dan Hambat Transisi Energi Bersih
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang disusun oleh PLN menuai kritik tajam dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Analisis mereka menunjukkan bahwa RUPTL terbaru ini justru meningkatkan ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil dan menghambat upaya transisi menuju energi bersih.
CREA menyoroti peningkatan signifikan dalam penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik. Proyeksi mereka menunjukkan bahwa penggunaan batu bara dan gas akan melonjak hingga 40%, dari 286 Terawatt hour (TWh) pada tahun 2024 menjadi 406 TWh pada tahun 2034. Lebih lanjut, RUPTL ini mengusulkan penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga fosil sebesar 16,6 GW hingga tahun 2034. Hal ini dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Selain peningkatan ketergantungan pada energi fosil, CREA juga menyoroti penurunan target energi terbarukan dalam RUPTL 2025-2034. Target energi terbarukan diturunkan dari 20,9 Gigawatt (GW) dalam RUPTL 2021-2030 menjadi hanya 17,0 GW. Penurunan sebesar 2,3 GW ini dianggap sebagai kemunduran yang signifikan dalam upaya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta, menyatakan bahwa RUPTL terbaru ini tidak sejalan dengan visi Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap pada tahun 2040. Ia juga menyayangkan tidak adanya jadwal pemensiunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang jelas dalam rencana tersebut. Menurutnya, RUPTL ini berisiko mengarahkan jaringan listrik nasional menjadi lebih bergantung pada bahan bakar fosil dan mengabaikan potensi energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia.
Target energi bersih dalam RUPTL terbaru juga lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam Just Energy Transition Partnership Comprehensive Investment and Policy Plan (JETP CIPP) 2023. RUPTL hanya menargetkan 10,6 GW energi surya dan angin pada tahun 2030, padahal JETP CIPP menargetkan 24,3 GW.
CREA juga memprediksi bahwa batu bara dan gas akan mendominasi peningkatan kapasitas dan pembangkitan listrik selama 10 tahun ke depan. Usulan penghentian bertahap penggunaan batu bara dalam dokumen JETP CIPP tidak diadopsi dalam RUPTL ini. Myllyvirta menambahkan bahwa penambahan gas sebagai sumber energi berisiko menciptakan ketidakpastian pasokan dan biaya yang mahal, yang bertentangan dengan visi Presiden Prabowo tentang swasembada energi dan efisiensi ekonomi.
CREA memperingatkan bahwa pemerintah berisiko kehilangan peluang untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mencapai target iklim yang ambisius. Penambahan kapasitas bahan bakar fosil sebesar 16,6 GW dari tahun 2025 hingga 2029 dan penundaan peluncuran energi terbarukan sebesar 42,1 GW setelah tahun 2030 akan menghambat upaya pengurangan emisi dalam dekade mendatang.
CREA memperkirakan bahwa polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara akan menyebabkan 303.000 kematian dan biaya kesehatan sebesar 210 miliar dollar AS. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan:
- Penghentian PLTU batu bara lebih cepat pada tahun 2040, sesuai dengan target 1,5 derajat celsius dalam Perjanjian Paris.
- Penyusunan peta jalan pensiun batu bara nasional yang mempertimbangkan dampak kesehatan dan beban ekonomi akibat ketergantungan pada batu bara.
- Peningkatan pengembangan energi terbarukan pada tahun 2025-2029 untuk menggantikan batu bara dan gas.
- Penerapan pemantauan ketat terhadap pelaksanaan proyek energi terbarukan, mengingat pentingnya akuntabilitas PLN terhadap komitmen yang tercantum dalam RUPTL.