Waspada! Kenali Ciri-Ciri Pria 'Anak Mama' yang Belum Siap Berkomitmen

Memasuki sebuah hubungan romantis seringkali digambarkan sebagai perjalanan yang penuh warna. Namun, realitasnya tak selalu seindah ekspektasi. Salah satu tantangan yang mungkin dihadapi adalah menjalin asmara dengan pria yang memiliki keterikatan berlebihan dengan ibunya, atau yang kerap disebut 'anak mama'.

Kedekatan seorang pria dengan ibunya bukanlah hal yang negatif. Bahkan, dalam banyak kasus, ini mencerminkan hubungan keluarga yang harmonis. Akan tetapi, ketika kedekatan tersebut mulai mengganggu dinamika hubungan romantis, muncul pertanyaan serius mengenai kesiapan pria tersebut untuk menjalin komitmen yang sehat dan dewasa.

Seorang ahli hubungan, Jeevika Sharma, menyoroti beberapa indikator penting yang dapat membantu mengidentifikasi apakah seorang wanita sedang menjalin hubungan dengan 'anak mama'. Mengenali tanda-tanda ini sejak dini dapat menjadi bekal penting dalam mengambil keputusan terkait kelanjutan hubungan.

Indikator Pria 'Anak Mama'

  • Ketergantungan Emosional dan Finansial: Pria yang matang secara emosional mampu menghadapi masalah dan tantangan hidup secara mandiri. Jika setiap kesulitan yang dihadapi selalu diselesaikan dengan mencari perlindungan pada ibunya, baik secara emosional maupun finansial, hal ini mengindikasikan kurangnya kemandirian.
  • Membutuhkan Persetujuan Ibu dalam Segala Hal: Keputusan-keputusan penting dalam hidup, bahkan hal-hal sepele, selalu dikonsultasikan dan membutuhkan persetujuan dari sang ibu. Pendapat ibunya lebih diutamakan daripada pendapat pasangannya sendiri.
  • Terlalu Sering Membicarakan Ibu: Berbicara tentang keluarga adalah hal yang wajar. Namun, jika percakapan terus-menerus didominasi oleh cerita tentang ibu, bahkan hingga detail-detail pribadi, hal ini menunjukkan bahwa ibunya memiliki peran yang terlalu dominan dalam hidupnya.
  • Mengandalkan Ibu untuk Menyelesaikan Masalah: Alih-alih berusaha mencari solusi sendiri, ia lebih memilih menyerahkan semua masalah dan keputusan kepada ibunya. Padahal, dalam hubungan dewasa, kemampuan untuk bertanggung jawab dan mandiri sangatlah penting.
  • Kesulitan Menetapkan Batasan: Ia tidak mampu menetapkan batasan yang jelas dengan ibunya. Akibatnya, waktu dan perhatian yang seharusnya diberikan kepada pasangan seringkali dialihkan kepada ibunya.
  • Mengharapkan Pasangan Menjadi Seperti Ibunya: Ia mulai membandingkan pasangannya dengan ibunya dan menuntut agar pasangannya bertindak dan memperlakukannya seperti ibunya. Hal ini dapat membuat pasangan merasa tidak dihargai dan tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
  • Selalu Mencari Validasi dari Ibu: Ia terus-menerus mencari pengakuan dan persetujuan dari ibunya. Ketergantungan ini dapat membuat pasangannya merasa tersisih dan tidak dianggap penting.
  • Sulit Terbuka Secara Emosional dengan Pasangan: Ia lebih nyaman berbagi perasaan dan masalahnya dengan ibunya daripada dengan pasangannya. Hal ini dapat menghambat terbentuknya keintiman emosional dalam hubungan.
  • Kurang Mandiri dalam Mengatur Hidup: Ia tidak terbiasa mengambil keputusan atau mengurus dirinya sendiri. Pasangannya mungkin merasa seperti harus selalu 'mengasuh' dan membimbingnya dalam berbagai hal.
  • Enggan Berubah dan Berkembang: Ia menolak untuk berubah atau berkembang karena terlalu nyaman dengan pola pikir dan kebiasaan yang diturunkan dari ibunya. Hal ini dapat membuat hubungan stagnan dan sulit untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

Hubungan yang sehat membutuhkan keseimbangan, ruang pribadi, dan kematangan emosional dari kedua belah pihak. Jika Anda merasa selalu menjadi 'prioritas kedua' dalam hubungan, penting untuk melakukan diskusi terbuka dan jujur dengan pasangan. Pertimbangkan dengan matang apakah hubungan tersebut dapat berkembang menjadi hubungan yang sehat dan saling mendukung di masa depan.