Komnas HAM Tegaskan Perkosaan Massal Bagian dari Kejahatan Kemanusiaan dalam Kerusuhan Mei 1998

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kembali menegaskan bahwa perkosaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998. Penegasan ini disampaikan menyusul pernyataan yang meragukan adanya fakta perkosaan massal dalam tragedi tersebut.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menjelaskan bahwa perkosaan adalah satu dari lima jenis kejahatan yang teridentifikasi oleh Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Empat kejahatan lainnya meliputi pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan persekusi. Tim Ad Hoc ini dibentuk pada Maret 2003 dan menyelesaikan penyelidikannya pada September tahun yang sama.

"Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," ujar Anis.

Temuan ini, lanjut Anis, telah diserahkan kepada Jaksa Agung selaku penyidik pada 19 September 2003, melalui Surat Nomor: 197/TUA/IX/2003.

Komnas HAM menyoroti bahwa Pemerintah telah mengakui kerusuhan Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Hal ini ditunjukkan dengan:

  • Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
  • Pengakuan Presiden RI saat itu, Joko Widodo, atas kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM berat, setelah menerima laporan akhir Tim PPHAM pada 11 Januari 2023.
  • Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
  • Pemberian layanan kepada keluarga korban kerusuhan 13-15 Mei 1998 oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 11 Desember 2023.

Penjelasan Komnas HAM ini merupakan respons terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan terdahulu, Fadli Zon, yang meragukan adanya fakta kuat mengenai perkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Komnas HAM menilai pernyataan tersebut tidak tepat, mengingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 telah diakui oleh Pemerintah, dan sebagian korban serta keluarga korban telah menerima layanan.

Sebelumnya, Fadli Zon telah mengklarifikasi pernyataannya yang menuai kritik. Ia menegaskan bahwa dirinya mengutuk dan mengecam keras segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih terjadi hingga saat ini. Fadli Zon juga menyatakan bahwa pernyataannya tidak bermaksud untuk meniadakan penderitaan korban dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998. Menurutnya, peristiwa tersebut menimbulkan berbagai silang pendapat dan perspektif, termasuk mengenai ada atau tidaknya 'perkosaan massal'. Ia juga menyinggung bahwa liputan investigatif sebuah majalah terkemuka belum dapat mengungkap fakta-fakta kuat mengenai 'massal' ini, serta laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid.

Dengan penegasan ini, Komnas HAM berharap agar tragedi Mei 1998 tidak dilupakan dan upaya pemulihan serta keadilan bagi para korban terus diupayakan.