Keseimbangan Pemanfaatan Lahan: Analisis Dampak Pertambangan dan Hutan terhadap Ekonomi, Ekologi, dan Sosial

Pemanfaatan lahan hutan untuk kegiatan ekonomi seperti pertambangan dan pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK-HA) selalu menjadi perdebatan menarik. Sebuah anekdot di Kementerian Kehutanan menggambarkan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH) untuk tambang seluas 100 hektar setara dengan izin pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 50.000 hektar. Meskipun secara ekonomi pertambangan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar, implikasi ekologis dan sosialnya jauh lebih kompleks.

Regulasi dan Kewajiban

Peraturan Pemerintah No. 23/2021 mengatur penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan di hutan produksi dan hutan lindung, dengan persyaratan khusus, terutama pertambangan bawah tanah di hutan lindung. Pemegang izin wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) penggunaan kawasan hutan, dan PNBP kompensasi bagi provinsi dengan kawasan hutan yang terbatas. Selain itu, penebangan pohon untuk pembukaan lahan memerlukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR).

Setelah memperoleh izin penggunaan kawasan hutan dan memenuhi kewajiban terkait kehutanan, pengusaha tambang juga harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Operasi pertambangan yang menghasilkan mineral wajib mematuhi PP No. 37/2018 tentang perpajakan dan PNBP di bidang usaha pertambangan mineral, termasuk pajak atas penghasilan dari usaha dan luar usaha.

Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHHK-HA)

Berbeda dengan pertambangan, IUPHHK-HA hanya diperbolehkan di hutan produksi. Kegiatan ini meliputi penebangan, pengayaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran. IUPHHK-HA dilaksanakan melalui inventarisasi hutan berkala. Pembatasan izin usaha meliputi luasan maksimal 50.000 hektar (100.000 hektar di Papua), pembatasan jumlah izin, dan penataan lokasi dengan konsesi hingga 90 tahun. Pemegang IUPHHK-HA wajib membayar PNBP seperti Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (IPBPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), denda pelanggaran, serta penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan dan ekspor hasil hutan.

Dampak Ekologis dan Sosial

Kegiatan pertambangan cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih besar dibandingkan IUPHHK-HA. Pertambangan, terutama yang menggunakan metode terbuka, mengakibatkan penebangan habis vegetasi. Sementara itu, IUPHHK-HA menerapkan sistem silvikultur (penanaman kembali) untuk memulihkan hutan sesuai karakteristiknya. Sistem silvikultur yang digunakan meliputi:

  • Sistem Silvikultur tebang habis permudaan buatan
  • Sistem Silvikultur tebang habis permudaan alam
  • Sistem Silvikultur tebang pilih tanam Indonesia
  • Sistem Silvikultur tebang jalur tanam Indonesia
  • Sistem Silvikultur tebang pilih tanam jalur
  • Sistem Silvikultur tebang rumpang

Reklamasi lahan bekas tambang diwajibkan, tetapi proses pemulihan menjadi kawasan hutan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan IUPHHK-HA.

Secara sosial, baik pertambangan maupun IUPHHK-HA dapat menggusur masyarakat adat. Konflik tenurial sering terjadi karena kurangnya komunikasi dan solusi yang melibatkan masyarakat adat sebelum izin diterbitkan. Dampak kegiatan pertambangan dan IUPHHK-HA terhadap masyarakat adat perlu diukur melalui penelitian yang mempertimbangkan karakteristik wilayah.

Manfaat Ekonomi dan Keseimbangan

Secara ekonomi, pertambangan dan IUPHHK memberikan kontribusi signifikan bagi devisa negara. Sektor migas dan kehutanan pernah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, potensi tambang dan hutan sama-sama penting, asalkan dikelola secara bijaksana dengan memperhatikan aspek ekologi dan sosial.