Tragedi Mei 1998: Potret Korban Kekerasan Seksual dan Luka yang Membekas

Peristiwa kelam Mei 1998 meninggalkan luka mendalam bagi banyak korban, khususnya perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Komnas Perempuan mendokumentasikan kisah-kisah pilu ini, membuka tabir tentang siapa saja yang menjadi target dan bagaimana dampak jangka panjang menghantui kehidupan mereka.

Siapa Saja Korbannya?

Berdasarkan laporan yang disusun oleh tim khusus, termasuk Andi Yentriyani, Ketua Komnas HAM RI periode 2020-2025, korban kekerasan seksual Mei 1998 berasal dari berbagai kalangan. Usia mereka beragam, mulai dari anak-anak berusia lima tahun hingga perempuan dewasa berusia 50 tahun. Status sosial mereka pun berbeda-beda, ada yang lajang, menikah, bekerja sebagai karyawan, pelajar, bahkan ibu rumah tangga.

Etnis Tionghoa Jadi Target Utama

Laporan tersebut mengungkap fakta bahwa mayoritas korban adalah perempuan etnis Tionghoa. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat sebagian besar penyerangan dan penjarahan pada Mei 1998 terjadi di wilayah yang didominasi komunitas Tionghoa. Korban dipilih berdasarkan etnisitas mereka, mengindikasikan adanya serangan yang sistematis terhadap komunitas Tionghoa.

Kesaksian seorang korban yang selamat dari percobaan pemerkosaan menjadi bukti nyata. Ia selamat karena ibunya memiliki wajah pribumi. Ada pula pelaku yang menghentikan aksinya setelah korban berteriak dalam bahasa Bugis dan menyadari bahwa perempuan tersebut bukan etnis Tionghoa.

Trauma Mendalam dan Stigma Sosial

Kisah lain menceritakan seorang istri dan ibu dua anak yang diperkosa di taksi. Ia keluar dari taksi tanpa busana dan mencari pertolongan di rumah penduduk. Meski trauma mendalam menghantuinya, ia memutuskan untuk tetap bekerja. Namun, gejala disfungsi seperti kesulitan memasak muncul sebagai dampak dari trauma tersebut.

Suami korban awalnya sulit menerima kenyataan pahit yang menimpa istrinya. Namun, setelah melalui proses pendampingan yang panjang, ia akhirnya menerima dan memutuskan untuk pindah dari Indonesia, mengganti identitas, dan memutuskan kontak dengan pendamping.

Bagi keluarga korban, kekerasan seksual, khususnya perkosaan, merupakan kenyataan yang sulit diterima. Peristiwa tersebut justru menciptakan ketegangan di dalam keluarga.

Bungkam Karena Ancaman

Korban memilih untuk bungkam bukan karena peristiwa itu adalah rumor belaka, tetapi karena adanya ancaman nyata yang mereka rasakan, termasuk dari orang-orang terdekat. Lingkungan sekitar korban, terutama keluarga, memiliki pengaruh besar terhadap keputusan mereka untuk bersikap diam.

Perkosaan Massal yang Sistematis

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat adanya 52 kasus pemerkosaan selama kerusuhan 13-15 Mei 1998. Kasus-kasus ini dikategorikan sebagai perkosaan massal karena diduga adanya unsur sistematis yang menjadi penyebabnya. Tragedi ini menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia, menuntut keadilan bagi para korban dan upaya pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.